Opini
Ditulis Oleh: Rusdi (Pemerhati Kebijakan)
JMNpost.com | Pencitraan memang indah di kamera, tapi nihil di angka pertumbuhan ekonomi. Aceh Timur bisa dihiasi spanduk dan foto pejabat di mana-mana, namun pertanyaannya sederhana: apakah pencitraan mampu mengerek pertumbuhan ekonomi daerah ini di atas 4 persen? Apakah wajah-wajah penuh senyum di media sosial itu bisa menurunkan angka kemiskinan ekstrem yang masih mencengkeram sebagian besar rakyat di pedalaman dan pesisir?
Kita harus jujur. Tidak satu pun daerah di dunia yang maju karena pencitraan. Daerah tumbuh karena perencanaan matang, koordinasi antarorganisasi yang solid, dan kepemimpinan yang memahami fungsi birokrasi. Ketika pejabat sibuk dengan sidak dadakan dan unggahan pencitraan, sementara data kemiskinan dan pendidikan tetap membeku di posisi tujuh terbawah di Aceh, itu artinya yang keliru bukan rakyatnya, tapi arah kepemimpinannya.
Apakah pencitraan mampu membuka lapangan kerja baru di tengah angka pengangguran yang terus meningkat? Tidak. Yang menciptakan pekerjaan adalah investasi yang datang karena kepercayaan. Dan kepercayaan itu tumbuh bukan dari gaya heroik seorang pemimpin yang ingin tampil di depan kamera, tetapi dari sistem yang kuat, pelayanan publik yang efisien, dan koordinasi antar-dinas yang hidup.
Kita tidak membayar pajak untuk membiayai “panggung politik pribadi”. Pajak rakyat seharusnya menjadi bahan bakar untuk perbaikan pelayanan, peningkatan kapasitas aparatur, dan penciptaan nilai tambah ekonomi di sektor riil. Jika kepala dinas dan perangkat birokrasi dibiarkan menjadi penonton karena semua urusan ingin ditangani langsung oleh “sang pahlawan tunggal”, maka di situlah letak kehancuran tata kelola pemerintahan. Itu bukan gaya kepemimpinan modern, melainkan tanda ketidakfahaman terhadap fungsi organisasi.
Pemerintahan daerah seharusnya bekerja dengan prinsip waskat — pengawasan melekat. Setiap kepala dinas bertanggung jawab terhadap bidangnya, bukan sekadar menjadi pelengkap dalam drama kunjungan lapangan. Fungsi kontrol melekat ini yang membuat sistem birokrasi hidup dan bertanggung jawab. Ketika semua fungsi itu direduksi menjadi perintah satu arah tanpa koordinasi, maka yang lahir bukan pemerintahan, tapi panggung pencitraan personal.
Gestur seorang pejabat publik seharusnya menyesuaikan posisi dan fungsinya. Tidak perlu menjadi aktor tunggal dalam setiap urusan teknis. Tidak perlu bernafsu ingin menjadi pahlawan sendiri. Karena keberhasilan pembangunan bukan hasil dari satu tangan, melainkan hasil kerja tim yang solid, ikhlas, cerdas, dan berintegritas sesuai tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
Kepemimpinan yang sehat itu membangun sistem, bukan sekadar momentum. Ia melahirkan sinergi, bukan sensasi. Ia menumbuhkan kepercayaan dari bawah ke atas, bukan ketakutan dari atas ke bawah. Tapi yang terjadi di Aceh Timur hari ini justru sebaliknya, sistem seolah lumpuh oleh hasrat satu orang yang ingin menonjol.
Pencitraan mungkin bisa membuat seseorang terlihat tegas dan rajin di mata publik, tapi hanya sementara. Rakyat Aceh Timur sudah cerdas. Mereka tak lagi mudah terpukau oleh sidak-sidak tiba-tiba atau video heroik di lapangan. Mereka menunggu hasil nyata: jalan yang mulus, pupuk yang tersedia tepat waktu, guru yang tidak kekurangan gaji, rumah sakit yang tak kehabisan obat, dan birokrasi yang melayani tanpa minta imbalan.
Sebuah pemerintahan daerah harus menjadi mesin kolaboratif, bukan wahana pertunjukan individual. Para kepala dinas harus diberi ruang menjalankan fungsi teknisnya dengan penuh tanggung jawab. Karena hanya dengan itu, daerah ini bisa keluar dari lingkaran kemiskinan struktural yang terus berulang.
Kita tidak butuh pemimpin yang setiap hari turun tangan ke lapangan hanya untuk menunjukkan bahwa bawahan tidak bisa bekerja. Kita butuh pemimpin yang mampu membuat bawahan mau bekerja karena percaya, karena dihargai, karena tahu arah dan targetnya jelas. Kepemimpinan bukan soal banyak tampil, tapi soal banyak menyelesaikan.
Begitu, Ketua Sidak. Kami rasa cukup sudah permainan citra ini. Mari sedikit serius. Aceh Timur bukan panggung pencitraan, tapi ruang perjuangan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat. Mari kembalikan esensi kepemimpinan kepada fungsinya: membangun sistem, memberdayakan organisasi, dan menghidupkan semangat kerja kolektif. Karena hanya dengan itu, kita bisa memastikan bahwa pajak rakyat tidak dibakar sia-sia untuk membiayai ego seseorang yang ingin terlihat hebat di depan kamera.
Sudahi permainan simbolik ini, mari bekerja dengan kesadaran, bukan sorotan. Karena rakyat menunggu bukti, bukan drama.

Post a Comment