Dapur MBG dan Rakusnya Bupati di Negeri Lapar



Ditulis Oleh: Mahdi
Pemerhati Kebijakan Publik

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya lahir dari semangat pemerataan dan kepedulian sosial. Sebuah gagasan yang ingin memastikan bahwa anak-anak, terutama di pelosok, tidak berangkat sekolah dengan perut kosong. Namun seperti biasa, di tangan birokrasi yang rakus dan kekuasaan yang terlalu percaya diri, gagasan mulia itu justru berubah menjadi alat transaksional. Bahkan untuk hal sesederhana membuka dapur kecil, kini rakyat harus berhadapan dengan izin politik yang menjijikkan: rekomendasi bupati.

Lucunya, dapur yang dimaksud bukan dapur besar. Bukan dapur yang mengelola tiga ribu porsi seperti di pusat kota. Ini dapur kecil di kampung-kampung terpencil, yang cuma mampu menanak 500 porsi per hari. Tapi, tetap saja, tangan kekuasaan merasa berhak mencicipi. Seolah setiap butir nasi yang dimasak di negeri ini harus lebih dulu dicicip pejabat. Dapur kecil yang dibangun dengan niat memberi makan anak miskin malah dijadikan tempat berbagi jatah bagi bupati yang sudah kenyang.

Kebijakan yang mensyaratkan rekomendasi bupati untuk mendirikan dapur MBG kecil adalah cermin betapa rusaknya logika birokrasi kita. Dapur adalah urusan sosial, bukan urusan politik. Tapi di negeri ini, bahkan sendok nasi pun bisa menjadi objek perintah kekuasaan. Ketika rakyat di pelosok ingin ikut serta membangun dapur, membuka lapangan kerja, dan membantu program pemerintah, mereka justru ditanya, “Mana rekomendasi dari bupati?”

Pertanyaannya sederhana: apa urusan bupati dengan dapur rakyat? Ini bukan proyek tender. Ini bukan kontrak jutaan. Ini cuma dapur kecil yang menanak nasi buat anak-anak miskin. Tapi begitu ada embel-embel anggaran dan program nasional, hidung kekuasaan langsung mencium peluang. Bupati tiba-tiba jadi “penentu takdir” bagi siapa yang boleh menanak nasi, dan siapa yang tidak.

Yang lebih busuk, rekomendasi itu ternyata tidak gratis. Bukan sekadar tanda tangan, tapi tiket menuju pembagian hasil. Dalam praktiknya, beberapa bupati justru meminta jatah dari pengelola dapur MBG kecil. Ada yang minta setoran bulanan, ada yang terang-terangan meminta bagi dua hasil keuntungan. Padahal ini dapur kecil, bukan proyek APBN. Bagi dua dari apa? Dari lauk tempe dan sayur rebus? Kalau bukan tamak, lalu apa nama yang pantas untuk pejabat seperti itu?

Kita sering terjebak dalam logika bahwa korupsi hanya terjadi pada proyek besar, jembatan, jalan, atau pengadaan alat berat. Padahal, bentuk paling menjijikkan dari korupsi adalah ketika rakus itu menetes sampai ke dapur rakyat. Ketika pejabat daerah merasa berhak atas nasi rakyat miskin, maka itu bukan lagi sekadar penyimpangan, tapi penghinaan terhadap rasa kemanusiaan.

BGN pihak yang membuka peluang bagi dapur kecil untuk berdiri di luar dapur MBG besar sejatinya memberi ruang partisipasi masyarakat. Sebuah model desentralisasi sosial yang patut diapresiasi. Namun, ketika ruang itu ditutup dengan tembok rekomendasi bupati, maknanya berubah total. Dari partisipasi menjadi perizinan. Dari gotong royong menjadi upeti. Bupati seolah-olah menjadi Tuhan kecil yang menentukan siapa yang boleh memberi makan anak-anak bangsa, dan siapa yang tidak.

Kita perlu bertanya lebih dalam: kenapa negara membiarkan pejabat lokal mengkomersialisasi niat baik rakyat? Apakah kementerian terkait tidak tahu bahwa ada bupati yang memotong jatah dapur kecil hingga separuhnya? Ataukah ini memang bagian dari sistem yang sudah dibiarkan berjalan, selama uang tetap berputar dan laporan tetap rapi?

Fenomena ini menunjukkan bahwa program sosial kita sering gagal bukan karena rakyat malas, tetapi karena pejabatnya rakus. Dapur MBG kecil hanyalah contoh kecil dari pola lama: kekuasaan selalu mencari celah untuk memungut jatah, bahkan dari perut orang lapar. Tidak peduli besar atau kecil, asal bisa diseruput.

Bupati yang meminta jatah dari dapur rakyat sesungguhnya telah kehilangan moral publik. Ia bukan lagi pemimpin, tapi pengutip pajak atas lapar. Ia menganggap wilayah kekuasaannya sebagai kebun pribadi, setiap yang tumbuh, setiap yang masak, setiap yang hidup, harus lebih dulu disetujui olehnya.

Dan celakanya, tidak ada yang berani menolak. Karena tanpa rekomendasi itu, dapur kecil tak bisa jalan. Anak-anak tetap lapar, masyarakat tetap menganggur, dan bupati tetap duduk di kursinya, menunggu bagian nasi dari rakyat yang ia peras.

Sudah saatnya negara menghapus praktik ini. Dapur MBG kecil seharusnya berdiri di atas dasar kemanusiaan dan solidaritas sosial, bukan izin politik. Tidak boleh ada rekomendasi bupati untuk hal yang sifatnya sosial. Karena setiap kali birokrasi mencampuri dapur rakyat, yang lahir bukan gizi, tapi gratifikasi.

Maka kalau hari ini kita mendengar kabar ada bupati yang minta jatah dari dapur MBG kecil, jangan kaget. Inilah wajah asli kekuasaan lokal kita, lapar bukan karena tak punya nasi, tapi karena tak pernah kenyang.

Post a Comment

Previous Post Next Post