Aceh Tak Butuh Gelar Pahlawan, Tapi Butuh Merdeka dari Ketergantungan



Opini

Ditulis Oleh: Mahdi – Pemerhati Kebijakan Publik

Setiap kali November tiba, Indonesia kembali sibuk memperdebatkan siapa yang pantas disebut pahlawan nasional. Daerah berebut nama, pejabat sibuk melobi, dan media ramai menulis tokoh-tokoh masa lalu yang konon berjasa besar. Tapi di Aceh, euforia semacam ini sering kali terasa seperti sandiwara. Kita sibuk mencari pengakuan dari pusat, seolah nilai perjuangan harus diukur lewat surat keputusan dari Jakarta. Padahal, sejak dulu Aceh tidak pernah berjuang demi gelar Aceh berjuang demi martabat.

Lucunya, setiap tahun Aceh ikut arus isu “pahlawan nasional” padahal yang kita butuh bukan pahlawan baru, tapi arah baru. Bukan tambahan nama di monumen, tapi keberanian berpikir bahwa Aceh tidak bisa terus menumpang di kapal yang dikemudikan orang lain. Kita terlalu lama merasa bangga hanya karena disebut “Daerah Modal”, sementara modal sesungguhnya kemandirian ekonomi dan mental, justru dikuras habis oleh sistem yang membuat kita bergantung.

Mari jujur. Apa makna pahlawan dijawa bagi Aceh hari ini? Di Banda Aceh, pahlawan dihormati dengan upacara dan pidato pejabat. Tapi di pedalaman Aceh Timur, Aceh Selatan, atau Bener Meriah, rakyat masih bertarung dengan kemiskinan dan pengangguran. Di Aceh Besar, kita punya nama-nama besar dalam buku sejarah. Tapi di dapur rakyat kecil, yang jadi pahlawan adalah emak-emak yang menanak nasi tanpa kepastian besok makan apa. Kalau itu tidak disebut perjuangan, lalu apa arti “nasionalisme”?

Saya ingin berkata apa adanya: kita ini terlalu sibuk mencari restu. Kita ingin diakui pusat, kita ingin nama tokoh kita disahkan sebagai pahlawan nasional. Padahal, selama pikiran kita masih menunggu pengakuan dari Jakarta, Aceh belum benar-benar merdeka. Merdeka itu bukan memisahkan diri, tapi berani berdiri di atas kaki sendiri—secara ekonomi, pendidikan, dan budaya. Karena apa gunanya Aceh punya gelar “pahlawan nasional” kalau petani kita kalah harga dengan sawit milik korporasi luar, kalau laut kita dijarah kapal besar, dan kalau anak muda kita cuma jadi penonton di tanah sendiri?

Setiap kali isu pahlawan muncul, seakan kita sedang menonton sinetron sejarah. Semua orang jadi sejarawan dadakan, semua pejabat mendadak nasionalis. Tapi setelah upacara selesai, yang tersisa hanya baliho, bukan nilai perjuangan. Padahal kalau mau jujur, pahlawan sejati Aceh itu bukan yang namanya diminta jadi “nasional”. Pahlawan sejati Aceh adalah orang-orang yang menolak tunduk, yang melawan dengan pikirannya, yang tidak menjual harga diri hanya untuk sebuah jabatan atau proyek.

Bagi Mahdi, bangsa ini terlalu sibuk menghafal pahlawan, tapi lupa meniru keberanian mereka. Lihat bagaimana Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien dulu berjuang—bukan untuk disebut “nasional”, tapi untuk memastikan tanah ini tidak diinjak tanpa kehormatan. Mereka tidak minta pengakuan dari pusat kekuasaan, mereka melawan pusat itu. Maka ketika hari ini kita sibuk meminta pengakuan dari pusat yang sama, bukankah itu berarti kita sedang menghina warisan mereka dengan cara yang paling halus?

Sudah waktunya Aceh berhenti ikut campur dalam urusan simbolik orang Jawa—karena pahlawan mereka dan pahlawan kita lahir dari sejarah yang berbeda. Kita tidak perlu menyaingi siapa pun dalam urusan gelar. Yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana agar generasi Aceh tidak terus hidup dari dana hibah, tidak terus menunggu transfer pusat, dan tidak terus menggantungkan hidup pada janji politik yang berputar setiap lima tahun.

Kalau benar kita ingin menghormati pahlawan, maka tirulah keberanian mereka berpikir mandiri. Jangan cuma hafal nama Teuku Umar, tapi jadilah seperti semangatnya: menolak dijajah dengan cara apa pun, termasuk dijajah oleh mental bergantung dan birokrasi yang mematikan kreativitas. Karena hari ini, penjajahan tidak lagi datang lewat meriam, tapi lewat ketergantungan.

Aceh harus merdeka bukan dalam arti memisahkan diri dari Indonesia, tapi memisahkan diri dari kebodohan dan ketakutan untuk berpikir berbeda. Merdeka dalam arti berani menentukan arah pembangunan sendiri, berani mengkritik pusat tanpa takut kehilangan dana transfer, dan berani berkata “tidak” ketika kebijakan pusat bertentangan dengan kepentingan rakyat Aceh.

Kalau kita masih mengukur kehormatan lewat pengakuan dari Jakarta, maka Aceh akan terus menjadi penonton di negeri sendiri. Maka Mahdi ingin menutup tulisan ini dengan satu kalimat sederhana: 

Aceh tidak butuh gelar pahlawan nasional. 

Aceh butuh rakyat yang berani berpikir merdeka. Karena selama kita masih menunggu izin untuk menjadi hebat, pahlawan sejati tidak akan pernah lahir lagi dari tanah ini. 

Post a Comment

Previous Post Next Post