Pemilihan Geuchik Paya Dua Ujoeng Diduga Cacat Hukum, Muspika Seunedon Buang Badan


JMNpost.com | Aceh Utara, - Pesta demokrasi tingkat gampong di Paya Dua Ujoeng Kecamatan Seunudon Kabupaten Aceh Utara mendadak beraroma busuk. Pemilihan Geuchik yang seharusnya jadi ajang kehormatan warga malah berubah jadi ajang kecurigaan dan amarah. Panitia Pemilihan Geuchik (P2G) dituding bermain di belakang layar, sementara pengawasan Muspika disebut hanya sebatas nama.

Pemilihan pada 13 Oktober 2025 itu semula berjalan lancar. Hasilnya pun diumumkan: Azhari, calon nomor urut 01, menang tipis dengan 77 suara. Di bawahnya Abdurahman meraih 70 suara dan Syarbaini 49 suara. 

Namun, seminggu setelah pesta selesai, aroma tak sedap mulai tercium. Abdurahman dan timnya mendapati ada dugaan “kode rahasia” di surat suara, tanda aneh yang mereka yakini menjadi penanda bagi suara yang dibeli.

“Kami temukan ada permainan. Dari keterangan anggota panitia sendiri, sekitar 130 surat suara sengaja diberi stempel khusus. Sisanya tidak,” kata Abdurahman didampingi simpatisannya M. Aji Hasan, Kamis (30/10).

Ia menyebut kode itu bukan kebetulan, melainkan isyarat untuk mengamankan suara hasil politik uang. “Target mereka 130 suara. Tapi hasilnya meleset, dan itu yang membuat mereka panik,” ujarnya.

Yang lebih mengejutkan, daftar hadir pemilih tetap (DPT) ternyata tidak disertakan pada hari pemilihan. Tak ada tinta di jari pemilih, tak ada bukti siapa yang datang ke bilik suara. Demokrasi berjalan tanpa jejak. “Kami sudah laporkan ke Muspika Plus, tapi tak ada respon. Seolah mereka tak mau tahu,” ujar Abdurahman kecewa.

Ketua P2G Paya Dua Ujoeng, Zulkifli, tak menampik adanya kelalaian. “Surat suara kami stempel depan belakang dan itu sah. Tapi memang benar, kami tidak buat daftar hadir dan tidak lakukan celup jari,” katanya lewat sambungan seluler.

Pengakuan itu justru menegaskan betapa longgarnya integritas penyelenggara. Panitia seperti tak paham arti tanggung jawab publik. Sementara Kasi Pemerintahan Kecamatan Seunudon, Muchsin, justru terkesan menenangkan keadaan.

“Sudah kita tanyakan ke Kabupaten, katanya tidak masalah dengan daftar hadir. Lagian di DPT sudah ada tanda contreng,” ujarnya santai.

Pernyataan itu memantik pertanyaan publik. Bagaimana mungkin pemilihan bisa dianggap sah tanpa daftar hadir pemilih? Tanpa tinta jari, siapa yang menjamin tak ada orang memilih dua kali? Jika prosedur dilanggar, untuk apa ada petunjuk teknis dari pemerintah?

Lebih ironis lagi, pihak kecamatan sendiri mengaku baru diberi tahu jelang hari pemilihan. “P2G menjalankan tahapan dengan cara mereka sendiri,” kata Muchsin. Artinya, pengawasan nyaris tak ada.

Dari 226 pemilih tetap, hanya 192 suara yang tercatat. Satu suara rusak. Namun, di balik angka-angka itu, warga menyisakan tanda tanya besar: apakah yang menang benar-benar dipilih rakyat, atau ditentukan oleh stempel dan kesepakatan di balik meja?

“Kami ingin pemilihan yang bersih, bukan permainan yang dibungkus demokrasi,” kata Abdurahman. Ia mendesak agar pemilihan diulang, bukan demi kekuasaan, tapi demi menjaga marwah warga.

Di Paya Dua Ujoeng, demokrasi tampak berjalan. Tapi bila benar semua tahapan dilakukan tanpa transparansi, tanpa daftar hadir, tanpa tinta, dan tanpa pengawasan, maka yang lahir bukanlah pemimpin — melainkan hasil kompromi yang mencederai suara rakyat sendiri.

Reporter: Efendi Noerdin

Post a Comment

Previous Post Next Post