BANK SYARIAH DI ACEH : ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

Oleh : T.M. Jamil (Alumnus Ilmu Sosial dan Politik, Program Doktor Universitas Airlangga)


PADA dasarnya kemajuan ekonomi suatu bangsa, salah satunya sangat ditentukan oleh lembaga keuangan atau perbankan. Kehadiran bank syariah di Aceh adalah konsekuensi logis dari penerapan syariat Islam secara formal di wilayah ini. Dalam semangat otonomi khusus, Aceh diberi ruang untuk membangun sistem keuangan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Secara normatif, ini adalah langkah maju yang patut diapresiasi. Namun, ketika kita menengok ke lapangan, muncul pertanyaan yang tak bisa dihindari : Seberapa besar perubahan yang benar-benar dirasakan oleh rakyat Aceh setelah konversi total ke bank syariah? Ataukah ini hanya sebatas perubahan label belaka?

Perbankan syariah seharusnya tidak hanya bebas riba, tetapi juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kebermanfaatan, transparansi, dan keberpihakan kepada masyarakat kecil. Inilah inti dari maqashid syariah dalam konteks ekonomi ; menghadirkan manfaat dan menghindari mudarat. Jika bank syariah tidak mampu memberikan akses pembiayaan yang adil dan mudah kepada petani, nelayan, pedagang kecil, dan pelaku UMKM, maka kita perlu mempertanyakan apakah sistem ini telah berjalan sesuai dengan nilai dan ruh syariah.

Sayangnya, banyak laporan dari berbagai unsur dalam masyarakat yang merasa tidak ada perbedaan signifikan antara layanan bank syariah dan bank konvensional. Margin pembiayaan yang diberikan hampir setara dengan bunga di bank konvensional, prosedur yang ditempuh pun tidak lebih ringan, bahkan dalam beberapa kasus justru lebih membebani. Hal ini menimbulkan kesan bahwa bank syariah sekadar mengganti istilah : "bunga" menjadi "margin", "kredit" menjadi "pembiayaan", tanpa perubahan mendasar dalam orientasi dan pelayanannya. Beginilah sekilas Bank Syariah di Aceh, antara harapan dan kenyataan atau antara esensi dan realita.

Lebih jauh, transisi ke sistem syariah di Aceh juga belum diiringi dengan edukasi yang memadai. Banyak di antara masyarakat yang kebingungan terhadap produk dan skema pembiayaan yang ditawarkan. Ketidakpahaman ini membuat mereka terjebak dalam sistem yang tidak mereka mengerti, dan pada akhirnya, mengurangi kepercayaan mereka terhadap bank syariah itu sendiri.

Ke depan, jika kita sungguh-sungguh ingin menjadikan bank syariah sebagai instrumen keadilan sosial dan pemberdayaan ekonomi umat, maka perlu dilakukan evaluasi menyeluruh.

Pertama, dari sisi regulasi dan pengawasan, harus dipastikan bahwa bank syariah tidak hanya mematuhi aspek legal formal, tetapi juga menjalankan prinsip moral dan sosial Islam. 

Kedua, sumber daya manusia yang terlibat dalam perbankan syariah harus dibekali dengan pemahaman yang utuh tentang maqashid syariah, bukan sekadar pelatihan teknis. 

Ketiga, perlu ada program literasi keuangan syariah yang massif kepada masyarakat, agar mereka tidak hanya menjadi objek, tetapi juga subjek dalam sistem ini.

Bank syariah bukanlah tujuan akhir. Ia adalah alat untuk mencapai tatanan ekonomi yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam. Jika ia gagal memberikan perubahan berarti bagi rakyat Aceh, terutama kalangan bawah, maka kita harus berani mengatakan bahwa ada yang salah dalam pelaksanaannya. Kita tidak boleh berhenti pada simbol, sebab syariah bukan sekadar nama, ia adalah sistem nilai yang harus hidup dalam praktik sehari-hari. Semoga kehadirannya dapat memberi warna dan manfaat bagi ummat.(*)

Post a Comment

Previous Post Next Post