JMNpost.com | Aceh Timur, - Aksi saling bacok antara Rahman dan Hanafiah yang terjadi di Desa Blang Seunong Kecamatan Pante Bidari beberapa waktu lalu diduga dipicu persoalan jual beli lahan di kawasan Hutan Produksi Alur Ketapang Desa Sijudo. Percekcokan yang berakhir bentrokan berdarah itu disebut terkait praktik bagi-bagi tanah yang dilakukan sejumlah oknum tanpa kewenangan.
Berdasarkan informasi di lapangan, keributan bermula ketika Rahman merasa dirugikan karena tanah yang dibeli dari Hanafiah tumpang tindih dengan lahan lain. Tanah yang dijanjikan tidak sesuai dengan pembayaran yang sudah dilakukan. Rahman kemudian mendatangi rumah Hanafiah sambil memaki, lalu menyerang dengan parang hingga melukai lengan kiri Hanafiah. Hanafiah yang membela diri membalas dengan melempar kapak hingga mengenai kepala Rahman. Bentrokan itu membuat keduanya mengalami luka serius.
Hasil penelusuran menyebutkan bahwa mantan Keuchik Blang Seunong berinisial AA bersama beberapa orang lain disebut ikut terlibat dalam pembagian lahan di kawasan hutan tersebut. Hanafiah sendiri mengaku merasa dirugikan karena tanah seluas 15 hektar yang dibelinya tidak sesuai dengan perjanjian di satu titik lokasi.
Menurut seorang sumber yang enggan disebutkan namanya, transaksi jual beli lahan itu sudah berlangsung sejak lama. Ia menyebut harga lahan dipatok Rp1,5 juta untuk setiap 10 ribu meter atau satu hektar, dengan tambahan kewajiban Rp1 juta bagi pembeli untuk biaya pembangunan jalan. Namun, setelah pembayaran dilakukan, janji itu tak pernah ditepati termasuk pembangunan jalan yang tidak kunjung ada.
“Sebenarnya sudah banyak yang beli, tapi uang kemana mengalir. Ada juga yang merasa ditipu karena jalan yang dijanjikan tidak pernah dibuat,” ujar sumber tersebut dengan nada kecewa.
Praktik jual beli di kawasan Hutan Produksi itu menimbulkan pertanyaan serius mengenai kapasitas dan kewenangan pihak yang berani mengatur dan memperjualbelikan tanah negara. Masyarakat menduga ada jaringan mafia tanah yang bermain dalam kasus ini, sementara pihak berwenang diduga menutup mata terhadap aktivitas yang berpotensi melanggar hukum tersebut.
Kemana uang dari penjualan tanah negara yang disebut sudah mencapai ratusan hektar itu mengalir masih menjadi teka-teki. Publik mempertanyakan apakah ada pejabat yang bermain di balik layar.
Kasus ini perlu segera mendapat atensi serius dari pihak berwenang, khususnya Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Aparat Penegak Hukum (APH), demi menyelamatkan kawasan hutan negara dari praktik mafia tanah yang semakin meresahkan.
Post a Comment