Tanpa Deklarasi, AS Kirim Kapal Perang dan Serbu Pesisir Aceh, 500 Orang Tewas

Gambar: zonajakarta.com / ilustrasi

JMNpost.com | Aceh, - Pada awal abad ke-19, sebuah peristiwa berdarah terjadi di pesisir barat Sumatra, tepatnya di Kuala Batu, wilayah yang kini masuk Provinsi Aceh. Peristiwa itu melibatkan kapal perang Amerika Serikat, USS Potomac, yang datang bukan membawa dagang, melainkan meriam dan pasukan bersenjata lengkap.

Kisah ini bermula pada Februari 1831, ketika kapal dagang AS bernama Friendship diserang saat sedang membeli lada di Kuala Batu. Insiden itu memicu amarah Presiden Andrew Jackson, yang saat itu menjabat sebagai orang nomor satu di Amerika. Tanpa banyak pertimbangan diplomatik, ia langsung memerintahkan serangan militer.

Perintah itu diterima langsung oleh Kapten John Downes, komandan kapal USS Potomac yang saat itu tengah berlayar di perairan Brasil. Downes dikenal sebagai sosok perwira tempur berpengalaman, dan perintah "siaga tempur" dari Jackson dijawabnya dengan aksi.

Ia mengisi kapal dengan 300 pasukan dan sejumlah meriam, lalu berlayar dari Brasil menuju Afrika Selatan, sebelum menyeberangi Samudra Hindia dan mengarahkan haluan ke Aceh. Dalam pelayaran panjang selama dua bulan itu, Downes menyiapkan taktik khusus: menyamar sebagai kapal dagang Belanda.

Strategi ini bukan tanpa alasan. Belanda dikenal memiliki hubungan dagang aktif dengan Kesultanan Aceh, dan kapal berbendera Belanda tidak akan memicu kecurigaan. Maka seluruh meriam USS Potomac ditarik ke belakang geladak, pintu-pintu ditutup, dan identitas kapal disamarkan.

Setiba di perairan Kuala Batu pada awal Februari 1832, kapal Potomac berlabuh tanpa menimbulkan syak wasangka. Tentara AS turun dari kapal dengan menyamar sebagai pedagang, tetapi tujuan mereka bukan berdagang melainkan memetakan pertahanan wilayah dan menculik beberapa pedagang lokal untuk dijadikan informan.

Lalu, pada pagi buta tanggal 6 Februari 1832, pasukan Amerika melancarkan serangan mendadak. Serangan yang terencana dengan rapi itu mengejutkan warga Kuala Batu yang sama sekali tidak bersiap untuk menghadapi perang. Tiga benteng lokal direbut hanya dalam waktu kurang dari tiga jam. Puluhan hingga ratusan warga tewas, termasuk perempuan dan anak-anak.

Laporan resmi dari media AS saat itu, seperti New York Observer, menyebut bahwa korban di pihak lokal mencapai 80 sampai 100 orang. Namun, sumber-sumber lain menyatakan angka sebenarnya jauh lebih tinggi, hingga mencapai 500 jiwa.

Awalnya, opini publik di Amerika mengagungkan operasi ini sebagai bentuk pembalasan yang sukses. Namun, seiring waktu, banyak suara kritis yang muncul. Strategi penipuan, serangan saat penduduk tidur, dan pembantaian warga sipil membuat banyak kalangan menyebut aksi itu sebagai tindakan biadab.

Sejarawan kontemporer seperti Farish A. Noor mencatat bahwa peristiwa ini menjadi salah satu momen penting yang menunjukkan betapa mudahnya kekuatan militer digunakan oleh negara besar terhadap wilayah yang dianggap "tidak tunduk".

Yang lebih ironis, sebagaimana ditulis Robert Booth dalam Death on an Empire, penyerangan terhadap kapal dagang Friendship setahun sebelumnya terjadi karena frustrasi warga Aceh terhadap praktik dagang curang oleh pedagang Amerika. Mereka seringkali mengurangi timbangan dan merugikan penduduk lokal. Artinya, serangan terhadap kapal dagang AS bukan tanpa sebab.

Namun, reaksi yang diberikan Washington sangat tidak proporsional. Daripada mengupayakan diplomasi atau investigasi, mereka memilih menurunkan kapal perang dan mengorbankan ratusan nyawa.

Serangan USS Potomac ini kemudian membuka mata dunia bahwa Aceh bukan wilayah yang bisa dianggap remeh. Namun sekaligus, ini menjadi salah satu titik awal pelemahan pertahanan Aceh, karena beberapa tahun kemudian Belanda mengambil celah dari kekacauan ini untuk memulai invasi besar-besaran. Perang Aceh pun dimulai dan berlangsung hingga awal abad ke-20.

Kini, ratusan tahun kemudian, jejak serangan itu masih tercatat dalam sejarah hubungan internasional Aceh. Bahwa negeri kecil di ujung barat Nusantara ini pernah menjadi sasaran kekuatan militer negara adidaya, hanya karena segenggam lada dan praktik dagang yang tak adil.


Catatan: Naskah ini merupakan bagian dari rubrik Laporan Khusus JMNpost, yang menyajikan kembali peristiwa-peristiwa penting yang terlupakan publik. Lewat pendekatan naratif dan investigatif, rubrik ini menggali fakta-fakta sejarah untuk memahami ulang dinamika kekuasaan, konflik global, dan dampaknya terhadap wilayah seperti Aceh. Setiap kisah diangkat bukan untuk mengenang masa lalu, tetapi untuk membaca arah masa depan dengan lebih jernih.


Post a Comment

Previous Post Next Post