Toko Emas Tutup, Aktivis Buka Tarif

Oleh: JMNpost.com

Ketika masyarakat kecil sedang tertimpa musibah, harapan terakhir mereka biasanya adalah suara lantang para aktivis. Suara yang seharusnya menjadi pembela, bukan penjarah. Namun, di Aceh Timur, sebuah ironi muncul ke permukaan. Belasan warga yang dirugikan oleh tutupnya sebuah toko emas (tiko) di Idi Rayeuk, malah kembali menjadi korban—kali ini oleh sosok yang mengaku sebagai aktivis. Bukan diberi jalan keluar, mereka justru dimintai uang satu juta rupiah. Ini bukan lagi advokasi, ini sudah masuk ranah pemerasan.

Kita patut bertanya: ini aktivis atau makelar derita?

Sebanyak 15 warga, mayoritas perempuan, merasa tertipu setelah toko emas tempat mereka membeli atau menabung emas mendadak tutup akibat sebuah kasus yang belum sepenuhnya jelas di mata publik. Dalam kebingungan dan rasa takut kehilangan nilai simpanan emas yang mereka beli, mereka mencari bantuan. Dan seperti banyak masyarakat kecil lainnya, mereka berpegang pada harapan—bahwa masih ada orang baik yang bisa menolong, menyuarakan, dan memperjuangkan hak mereka.

Namun ternyata, harapan itu dibajak.

Salah seorang yang mereka dekati, seorang pria yang kerap menyebut dirinya aktivis dan dikenal wara-wiri di ruang-ruang publik lokal, bukannya memberi solusi, justru meminta "uang perjuangan" sebesar satu juta rupiah per orang. Dengan dalih untuk "urus ini-itu", uang itu diminta tanpa kejelasan mekanisme. Padahal, yang sedang mereka perjuangkan adalah emas mereka sendiri. Hak mereka sendiri. Yang nilainya bisa ratusan juta bila dikalkulasi seluruhnya.

Apakah perjuangan harus dibayar? Apakah keadilan kini dijual dengan tarif khusus?

Kita sedang menyaksikan kemunduran moral dari fungsi aktivisme. Ketika suara lantang tidak lagi digunakan untuk melawan ketidakadilan, melainkan dipakai sebagai alat untuk memeras orang lemah, maka sebenarnya aktivis semacam ini hanyalah perpanjangan dari sistem yang korup: mengambil untung dari derita orang lain. Mereka menjelma calo harapan, makelar rasa sakit, dan agen kekecewaan.

Fenomena mengaku aktivis ini bukan hal baru. Di banyak daerah, istilah “aktivis” memang telah mengalami degradasi. Dari pejuang idealis menjadi pelobi bayaran. Dari penggerak nurani menjadi pengatur skenario. Mereka akan hadir di saat konflik, namun bukan untuk menyelesaikannya—melainkan untuk memanfaatkan kekacauan itu untuk mendapat keuntungan pribadi.

Yang lebih menyedihkan, publik kerap tidak berdaya melawan mereka. Para korban, seperti warga di kasus toko emas ini, tidak tahu harus mengadu ke mana. Aparat hukum seringkali lambat, bahkan enggan menyentuh perkara semacam ini yang mereka anggap "tidak besar". Padahal bagi rakyat kecil, satu gram emas adalah hasil dari bulan-bulan memeras keringat.

Kita harus mulai menyusun ulang batas moral dari peran aktivis. Aktivis bukan juru runding berbayar. Aktivis bukan broker solusi. Aktivis sejati adalah mereka yang berdiri bersama rakyat, meski tanpa bayaran. Yang lebih memilih kenyang dengan idealisme, bukan kenyang karena amplop.

Jika benar laporan soal permintaan uang itu bisa dibuktikan—apalagi sampai berbentuk transfer atau rekaman suara—maka warga seharusnya berani mengambil langkah hukum. Aktivis semacam itu harus dipermalukan secara publik. Harus dicabut topengnya, dan dijauhkan dari ruang-ruang advokasi publik.

Sudah cukup masyarakat kecil menjadi korban dari sistem ekonomi yang timpang. Jangan biarkan mereka juga menjadi korban dari tipu daya oknum yang mengatasnamakan perjuangan.

Dan kepada para aktivis sejati—yang memang tulus dan tak haus imbalan—suaramu dibutuhkan lebih keras dari sebelumnya. Lawan mereka yang telah merusak makna dari kata "aktivis" itu sendiri. Jangan biarkan lapangan ini hanya diisi oleh para makelar penderitaan.

Aceh Timur butuh keadilan. Bukan dagang jasa tipu musibah.

Post a Comment

Previous Post Next Post