Warga Ungkap PT Enam Enam Tak Punya HGU, Tapi Sudah Klaim Tanah Ulayat



JMNpost.com | Aceh Timur, - Masyarakat Desa Rantau Panjang, Kecamatan Simpang Jernih, Aceh Timur, dengan tegas menolak klaim sepihak yang dilayangkan oleh PT Enam Enam Agro Group terhadap tanah ulayat di kawasan Buntul Janing. Perusahaan itu mengaku bahwa lahan yang telah dikelola warga sejak puluhan tahun silam termasuk dalam wilayah Hak Guna Usaha (HGU) mereka.

Namun klaim tersebut langsung dibantah warga. Tokoh masyarakat setempat, Adi Silitonga, menyatakan bahwa tanah yang disengketakan sudah lama dikuasai dan dimanfaatkan secara turun-temurun oleh masyarakat. Bahkan keberadaan perusahaan baru muncul jauh belakangan.

“Jangankan HGU, mereka datang saja baru beberapa tahun ini. Kami sudah buka lahan ini sejak zaman orang tua kami. Tanah ini bukan warisan perusahaan, tapi warisan leluhur kami,” tegas Adi Silitonga pada 7/6/2025

Menurutnya, klaim PT Enam Enam hanya mengulang pola lama yang dulu pernah dilakukan oleh PT Mapoli Raya. 

“Dulu juga seperti itu, datang-datang langsung tanam sawit. Padahal tanah ini sudah dibebaskan oleh PT Dani Putra dan sebagian besar sudah bersertifikat. Sekarang muncul lagi PT Enam Enam, pakai nama baru, tapi niat lama,” katanya dengan nada kesal.

Adapun wilayah yang disengketakan mencakup Bukit Seleumak, Alue Punti, Alue Kaul, Blang Tualang, Alue Tuwi, dan Srimulya, yang tersebar di empat kecamatan dalam Kabupaten Aceh Timur.

Perwakilan warga, Sayid Syamsudin, juga mengungkapkan bahwa tindakan perusahaan sangat tidak masuk akal. 

“Ini bukan cuma tidak masuk akal, ini melawan logika hukum,” katanya.

Dalam sebuah pertemuan terbuka antara warga dan pihak PT Enam Enam Agro Group di Buntul Janing, manajer perusahaan, Sanggam Panggabean, akhirnya mengakui bahwa perusahaan belum memiliki izin HGU. Bahkan papan informasi yang lazimnya wajib dipasang di area HGU pun tidak ada. Pengakuan ini disampaikan langsung di hadapan masyarakat, pihak Muspika Simpang Jernih, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Kepala Desa Rantau Panjang.

Warga menilai pernyataan tersebut sebagai bukti bahwa klaim perusahaan tak punya dasar hukum.

“Mereka tidak punya HGU, tapi sudah main klaim. Ini jelas mencederai rasa keadilan,” ujar seorang warga.

Lebih jauh, warga menunjukkan sejumlah dokumen resmi sebagai bukti kepemilikan yang sah:

Surat keterangan kepemilikan tanah dari Kepala Desa tahun 1995 dan 1996

Surat Izin Membuka Tanah (SIMT) dari Bupati Aceh Timur tahun 1999

Sertifikat tanah yang diterbitkan BPN Aceh Timur tahun 2007

“Semua dokumen ini kami miliki sebelum perusahaan-perusahaan itu datang. Kenapa hak kami sekarang malah mau diserobot?” tanya warga lainnya.

Ironisnya, PT Mapoli Raya sebelumnya juga sempat menanami sawit di atas lahan tersebut, meski mereka tahu tanah itu sudah pernah dibebaskan dan telah bersertifikat. Kini giliran PT Enam Enam yang muncul dengan klaim tak berdasar, menambah luka lama yang belum sembuh.

Dalam pertemuan yang sama, kedua belah pihak sepakat untuk menunda segala bentuk aktivitas di atas lahan hingga ada pengukuran resmi tapal batas oleh BPN. Kesepakatan ini bersifat dua arah: warga dan perusahaan dilarang melakukan aktivitas apapun di atas lahan sengketa sebelum ada kejelasan hukum.

Namun hingga kini, pengukuran resmi belum juga dilakukan. Proses penyelesaian konflik terkesan dibiarkan menggantung oleh pihak berwenang.

Warga pun mendesak agar Pemerintah Aceh, BPN Provinsi, dan Pemkab Aceh Timur segera turun tangan.

“Masalah ini jangan dibiarkan berlarut. Kami bukan penyerobot, kami mempertahankan hak yang telah kami jaga selama puluhan tahun,” tegas Adi Silitonga menutup wawancara.

Jika konflik ini terus diabaikan, bukan tidak mungkin akan memicu eskalasi yang lebih luas. Ketika hukum tunduk pada kekuasaan modal, keadilan hanya akan menjadi mimpi di atas tumpukan sertifikat yang diabaikan.


Redaksi

Post a Comment

Previous Post Next Post