JMNpost.com | Aceh Timur, - dalam diam, menyimpan industri gelap yang berdetak tanpa henti. Rokok ilegal, sabu, dan ganja bukan sekadar isu kriminal, tapi sudah menjadi “ekonomi bayangan” yang menopang banyak kantong. Tapi seperti biasa, semua lancar asal setoran jalan.
Namun bukan sekadar jalan, setoran juga harus merata. Dan di sinilah letak masalahnya.
“Kalau semua elemen disetor, pasti aman. Tapi kalau serakah sendiri, ya tunggu saja. Tupai pasti jatuh,” ujar Hendri Saputra alias Een, seorang pengamat akar rumput yang sudah lama mengamati permainan gelap ini, saat diteumui di Res Area terminal Idi Rayeuk.
Een menegaskan: mau jadi mafia, silakan. Tapi jangan bodoh. Mafia itu bukan sekadar berani, tapi juga harus tahu siapa yang harus diamankan.
“Kalau sudah kerja gelap, ya setor ke yang dianggap bahaya. Misalnya wartawan, aktivis, pengawas lapangan. Tapi inget, nggak semua dari mereka bisa dibeli, meskipun harganya mahal,” ucapnya dengan nada datar
Menurutnya, banyak mafia lokal di Aceh Timur terlalu percaya diri. Merasa bisa menguasai wilayah, mengendalikan jaringan, dan menyuap siapa pun. Padahal, sejarah dunia sudah berkali-kali membuktikan: mafia yang sombong dan pelit itu cepat tumbang.
Een menyebut contoh konkret: Pablo Escobar, raja narkoba Kolombia yang punya tentara pribadi, punya jaringan internasional, bahkan sempat punya kursi di parlemen. Tapi akhirnya tumbang juga, bukan karena moral, tapi karena terlalu banyak musuh, terlalu banyak yang tak diberi bagian.
Contoh lain, Yakuza Jepang. Di masa lalu mereka ditakuti, dihormati, bahkan dilindungi. Tapi ketika mereka mulai arogan, lupa berbagi, dan mencampuri urusan politik, negara balik menyerang.
Sekarang sebagian besar dari mereka hidup di bayang-bayang dan kehilangan wilayah kekuasaan.
Hal serupa mulai terasa di Aceh Timur. “Mereka pikir bisa kontrol semua orang. Tapi lupa, ada orang-orang yang tak bisa disuap. Justru orang-orang kayak gitu yang bikin skema gelap mereka mulai bocor,” ujar Een.
Belum lagi praktik monopoli di level pemerintahan. Seperti Penunjukan notaris dalam pembuatan Notaris Koprasi Merah putih, ini bisnis, diduga dikendalikan secara sepihak. Bukan berdasarkan aturan, tapi loyalitas dan setoran. Ini bukan rumor lagi, tapi sudah jadi rahasia umum yang dipelihara dengan rapi.
“Ada notaris yang tiba-tiba komplin akibat tidak ada penunjukan dari Ikatan Notaris Indonesia (INI). Ya, yang lain? Nganggur terus karenanya. Karena bukan bagian dari lingkaran,” tambah Een.
Sayangnya, para tupai yang sedang melompat itu terlalu sibuk menikmati ranting. Mereka lupa bahwa tanah di bawah sudah keropos. Ketika mereka jatuh, bukan cuma mereka yang sakit, tapi sistem yang mereka rusak ikut hancur.
Kini, aparat pusat mulai mengendus. Laporan-laporan diam-diam dikumpulkan. Beberapa nama mulai masuk radar. Bukan soal moralitas, tapi karena mereka tak tahu diri: kerja gelap, tapi tak tahu tata krama setoran.
“Kalau mau gelap, main cantik. Jangan murahan, jangan serakah. Tapi mereka nggak bisa. Mentalnya preman warung, tapi ngaku mafia kelas dunia,” sindir Een tajam.
Aceh Timur butuh pembersihan. Bukan sekadar razia kecil, tapi reformasi total atas cara berpikir elit dan pelaku lapangan. Sistem yang dibangun dari uang haram, setoran sepihak, dan perlindungan palsu, hanya tinggal menunggu waktu untuk meledak.
Dan saat itu tiba, suara jatuhnya bukan hanya satu tupai, tapi satu pohon utuh yang akan rubuh.
Sebab sejarah selalu berulang: mafia yang lupa cara berbagi, akan diburu bukan oleh polisi, tapi oleh rekan sendiri. Dan dari semua yang jatuh, yang paling tragis adalah mereka yang merasa tak akan pernah jatuh.
Post a Comment