
Opini | Kasus PT Beurata Maju: Hukum Tajam ke Tahun Baru, Tumpul ke Tahun Lama?

Oleh: Fahmi Muda
PT Beurata Maju adalah nama lama dalam bisnis sawit di Aceh Timur. Tapi dalam sorotan hukum, mereka justru menjadi “pendatang baru.” Mengapa? Karena baru periode 2023–2024 yang disentuh Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Timur. Padahal informasi yang beredar menyebut, sejak 2014 hingga 2022, perusahaan ini diduga tidak menyetor Pendapatan Asli Daerah (PAD) sepeser pun.
Ini bukan kesalahan kecil. Ini soal potensi kerugian keuangan daerah selama hampir satu dekade.
Yang membuat publik bingung dan geram adalah kenapa penegakan hukum hanya menyisir tahun-tahun terakhir? Apakah hukum di Aceh Timur bekerja berdasarkan kalender politik? Atau karena ada nama-nama lama yang tak tersentuh karena kedekatan atau kekuasaan?
Lebih aneh lagi, perusahaan lain yang disebut terlibat sebagai mitra Kerja Sama Operasi (KSO), yakni CV Dirajawalina, sama sekali tidak ikut disorot oleh Kejari. Padahal secara logika hukum, jika dua badan usaha terikat kerja sama dalam pengelolaan sawit di atas tanah negara, maka tanggung jawab mereka pun bersifat kolektif. Tapi yang satu dipanggil, yang lain seakan-akan punya kekebalan hukum.
Inilah yang membuat publik bertanya: apa Kejari Aceh Timur takut pada orang-orang tertentu?
Kita tidak sedang bermain opini liar. Ini soal keadilan prosedural, yang menuntut semua orang, dan semua badan hukum diproses berdasarkan hukum, bukan berdasarkan posisi. Jangan sampai Kejari terjebak dalam logika “tajam ke bawah, tumpul ke atas, dan pendek ke masa lalu.”
Kita bicara tentang perusahaan sawit yang mengelola ratusan bahkan ribuan hektare tanah. Jika selama bertahun-tahun tidak ada setoran PAD, maka potensi kerugian daerah bisa mencapai miliaran rupiah. Apakah ini tidak cukup penting untuk membuka audit menyeluruh sejak tahun 2014? Ataukah kesalahan hanya berlaku jika dilakukan di tahun-tahun sekarang?
Keprihatinan ini bukan hanya soal PAD. Ini soal wajah penegakan hukum kita yang mulai kehilangan bentuk. Kalau Kejari hanya memeriksa apa yang aman secara politik, dan menyingkirkan apa yang berisiko menyentuh “orang besar,” maka hukum sudah bukan instrumen keadilan. Hukum jadi alat untuk berpura-pura bekerja.
Pertanyaannya sederhana: siapa yang melindungi CV Dirajawalina? Dan mengapa Kejari tidak mau menyisir jejak ke belakang tahun 2023? Bukankah kejaksaan punya kewenangan dan alat untuk melacak arus transaksi, legalitas operasional, dan kewajiban pajak sejak awal PT Beurata Maju beroperasi?
Kalau ada ketakutan atau kepentingan yang menahan proses itu, maka Kejari Aceh Timur sedang mempermainkan kepercayaan publik. Hukum bukan barang konsumsi untuk dipamerkan di tahun politik. Hukum adalah proses yang adil, menyeluruh, dan tak boleh disetir oleh siapa pun.
Aceh Timur adalah daerah yang sedang berjuang keluar dari ketimpangan ekonomi. Maka setiap rupiah PAD dari perusahaan sawit adalah harapan untuk pendidikan, jalan, air bersih, dan kesehatan masyarakat. Kalau perusahaan dibiarkan lolos dari kewajiban, dan aparat penegak hukum diam saja, maka negara ini sedang dikompromikan dari dalam.
Kami menuntut Kejari Aceh Timur untuk menjelaskan ke publik:
Apa alasan hukum hanya memeriksa periode 2023–2024?
Mengapa CV Dirajawalina tidak masuk dalam proses hukum?
Berapa potensi PAD yang hilang dari PT Beurata Maju sejak 2014?
Kalau semua pertanyaan ini tak dijawab, maka publik berhak mencurigai bahwa penegakan hukum hanya menjadi panggung, bukan panglima.
Post a Comment