Opini: JMNpost.com
Ada satu keajaiban yang hanya terjadi setahun sekali di negeri ini, tepatnya saat Lebaran. Bukan soal takbir membelah malam atau ketupat yang digodok semalaman, tapi tentang bagaimana orang miskin bisa berubah wujud jadi orang kaya—minimal untuk 1-2 hari.
Itu bukan mukjizat spiritual. Itu hasil dari kredit baju lebaran, utang koperasi, pinjaman online, atau kolekan keluarga yang penuh drama. Di hari-hari biasa, dia cuma buruh pabrik dengan upah harian. Tapi pas Idul Fitri, bajunya Zara KW, sepatunya mirip Adidas (tapi kalau diperhatikan, tulisannya Adadis), dan anaknya dikasih angpau 50 ribu biar tetangga lihat: “Oh, mereka mampu.”
Inilah Lebaran: saat semua orang ingin terlihat bahagia, sejahtera, dan sukses, walau dompetnya tinggal lembaran fotokopi KTP.
Rasanya para ulama belum menetapkan ini, tapi masyarakat sudah lebih dulu mengaminkannya: gengsi adalah rukun ke-7 Lebaran. Wajib hukumnya beli baju baru, meski masih ada utang warung kelontong dua minggu lalu.
Ibu-ibu rela ngantri dua jam di toko grosiran, bukan untuk sembako, tapi untuk jilbab warna lavender yang katanya "lagi tren di TikTok." Bapak-bapak ngelus dada karena motor harus diservis, dicuci, dan diberi pewangi khusus biar pas sunmori hari kedua Lebaran tidak malu lewat depan mantan.
Anak muda? Jangan tanya. Lebaran itu waktunya unjuk gigi. Foto keluarga harus estetik, background minimal taman bunga atau masjid yang ada marmernya. Kalau perlu, sewa fotografer. Sekali set, dua ratus ribu. Tapi tak apa, demi konten yang bisa bikin iri teman-teman SMA.
Yang lebih menyedihkan adalah ketika Lebaran tidak lagi jadi momen silaturahmi tulus, tapi kompetisi tak kasatmata antar saudara.
“Eh, si Eni pulang bawa suami baru tuh, mobilnya CR-V kayaknya…”
“Oh ya? Tapi abang iparnya sekarang PNS loh, katanya udah mau naik eselon.”
“Si Anwar katanya enggak pulang, malu karena belum kawin-kawin.”
“Ya maklumlah, katanya sih lagi kerja di luar negeri, tapi enggak pernah kirim uang.”
Obrolan di ruang tamu Lebaran bukan lagi tentang kabar, tapi tentang siapa lebih sukses dari siapa. Tiba-tiba semua orang jadi juri kehidupan. Padahal, di luar ruang tamu itu, banyak yang nahan tangis. THR habis buat bayar utang. Anak minta sepeda baru, tapi yang dibeli cuma topi. Dan nasi di dapur cuma cukup sampai hari ketiga Syawal.
Lihat meja makan saat Lebaran. Ada rendang, opor, gulai, sambal kentang, dan kerupuk udang. Tapi coba tanya diam-diam: “Bu, ini dari uang mana masaknya?”
Jawabannya bisa bikin sesak dada.
Ada yang gali pinjaman dari koperasi. Ada yang baru cairin limit paylater. Ada juga yang memaksa suaminya minjam ke teman dengan alasan: “Masa Lebaran anak-anak enggak makan daging?”
Karena itulah, ketupat di hari Lebaran bukan sekadar lambang kemenangan, tapi juga lambang beban. Ia tersaji dengan rasa enak dan getir sekaligus.
Enak karena dibumbui kasih sayang, getir karena dibumbui utang.
Di negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai kejujuran, Lebaran justru jadi panggung kepalsuan terbesar dalam satu tahun kalender Hijriah.
Semua terlihat harmonis di foto keluarga, padahal semalam sebelumnya ibu dan anak berdebat karena si anak ngotot ingin beli sneaker. Semua terlihat religius di postingan Instagram, padahal di luar frame ada gawai yang menyala dengan game slot. Semua terlihat ‘meriah’, padahal yang meriah cuma dekorasi, bukan suasana hati.
Kita tidak sedang merayakan kemenangan, tapi sedang menutupi kekalahan dengan kain baru dan make-up tipis.
Kalau ada yang patut kita takbirkan malam ini, mungkin bukan hanya keagungan Tuhan, tapi juga keberanian beberapa orang yang tetap jujur jadi dirinya. Mereka yang tidak beli baju baru karena lebih penting bayar uang sekolah. Mereka yang tidak pulang kampung karena malu tak bisa bawa apa-apa. Mereka yang tidak pamer di medsos karena tahu, Lebaran sejatinya bukan soal tampil, tapi soal kembali.
Jadi jika malam ini kamu mendengar suara takbir dan mencium aroma rendang, tanyakan dalam hatimu: apa semua ini sungguh karena syukur? Atau karena takut dianggap gagal di mata orang?
Sebab di negeri ini, sering kali yang lebih penting dari kenyataan adalah tampilan. Dan Lebaran, sayangnya, hanya memperbesar ilusi itu.
Selamat Lebaran. Maaf lahir batin, dan maaf juga kalau dompet ikut tewas sebelum salat Ied
Post a Comment