Wartawan Dihajar saat Liputan Tambang Ilegal

 

JMNpost.com | Pontianak – Kekerasan terhadap jurnalis masih terus terjadi di Kalimantan Barat. Kali ini, empat wartawan media online nyaris jadi bulan-bulanan saat meliput aktivitas tambang emas ilegal (PETI) di Ketapang.

Insiden itu terjadi di Desa Lubuk Toman, Kecamatan Matan Hilir Selatan. Para jurnalis yang sedang menjalankan tugas investigasi justru nyaris dihajar para penambang. Informasi ini disampaikan Ketua Umum Rangkulan Jajaran Wartawan dan Lembaga Indonesia (RAJAWALI), Hadysa Prana, Kamis (5/6/2025).

“Empat wartawan hampir bonyok saat liputan. Ini bukan cuma soal kekerasan fisik, tapi juga teror, ancaman, dan intimidasi yang terus-menerus,” kata Hadysa.

RAJAWALI mencatat, kekerasan terhadap jurnalis di Kalbar dilakukan oleh berbagai pihak. Mulai dari oknum aparat, pengacara, cukong pengepul tambang, hingga masyarakat. Mereka kerap alergi pada wartawan yang mengungkap praktik-praktik ilegal.

Tak cuma soal tindakan lapangan, RAJAWALI juga menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan pers. Menurut Hadysa, aparat kerap melangkahi aturan yang sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“UU Pers itu jelas, ada MoU antara Dewan Pers dan Kapolri juga. Tapi kenyataannya, wartawan malah ditarik-tarik pakai UU ITE dan KUHP,” ujarnya.

Sebagai contoh, Hadysa menyinggung kasus yang menimpa Pemimpin Umum media Kabarseputarindonesia.com, Ihainiantin Mulia Agung. Ia dipanggil oleh Polres Ketapang karena beritanya soal dugaan limbah PT WHW yang mencemari Sungai Tengar.

Surat pemanggilan itu keluar atas laporan dari pihak manajemen perusahaan. Yang bikin geram, pemanggilan terkesan memaksa dan tanpa melalui mekanisme yang sesuai UU Pers. Akhirnya, media tersebut melaporkan balik penyidik ke Subbid Paminal Polda Kalbar.

“Harusnya polisi konsultasi dulu ke Dewan Pers. Kalau langsung proses pakai hukum pidana, ya itu bukan penyelesaian sengketa pers. Itu kriminalisasi,” tegas Hadysa.

RAJAWALI mendesak agar semua aparat hukum serius menjalankan UU Pers dan tidak seenaknya menafsirkan berita sebagai pelanggaran hukum pidana. Mereka juga mengingatkan bahwa kebebasan pers dijamin undang-undang dan merupakan pilar demokrasi.

Di luar soal kekerasan, Hadysa juga menyoroti kondisi kesejahteraan wartawan. Banyak perusahaan media, katanya, abai terhadap hak-hak dasar jurnalis dengan dalih kondisi keuangan sedang buruk.

“Bisnis media boleh lesu, tapi jangan abaikan hak wartawan. Mereka tetap pekerja yang wajib dilindungi,” tandasnya.

RAJAWALI mendorong perusahaan media untuk tetap menjamin hak normatif wartawan: mulai dari gaji, BPJS, hingga perlindungan saat bertugas di lapangan. Apalagi, di tengah maraknya liputan investigatif yang berisiko tinggi. 

Post a Comment

Previous Post Next Post