![]() |
Sekretaris
Fraksi Partai Nasdem DPR RI Ahmad Sahroni menyatakan bahwa siapapun sah-sah
saja menyampaikan aspirasi, namun proses pemakzulan tidaklah sederhana.
"Saya
rasa itu akan panjang sekali prosesnya, dan enggak semudah yang kita
bayangkan," ujar Sahroni kepada media. Ia menambahkan, surat yang masuk
akan difilter terlebih dahulu oleh Kesetjenan DPR. "Surat boleh dikirim
dari pihak mana pun. Tapi, surat mana saja yang diprioritaskan itu menjadi
bagian administrasi Kesetjenan DPR RI," jelasnya.
Ketua
Fraksi Partai Golkar Muhammad Sarmuji menilai Wapres Gibran belum melakukan
pelanggaran hukum atau tindakan tercela yang dapat dijadikan dasar pemakzulan.
"Wapres
Gibran tidak melakukan hal yang bisa menjadi alasan pemakzulan," kata Sarmuji.
Meski demikian, ia menyatakan surat dari Forum Purnawirawan tetap akan diterima
dan dipelajari. "Untuk tindak lanjut, kita pelajari apakah berkesesuaian
dengan amanat konstitusi dan perundangan yang berlaku," tambahnya.
Sikap
serupa ditunjukkan oleh Fraksi PKB. Anggota Fraksi PKB Daniel Johan mengatakan
setiap surat yang masuk akan dibahas oleh DPR, namun ia sendiri belum
mengetahui isi detail surat tersebut.
"Tentu
setiap surat masukan akan dibahas oleh komisi terkait dan fraksi
nantinya," ujar Daniel singkat.
Wakil
Ketua MPR RI dari Fraksi PDI-P, Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul,
menambahkan bahwa MPR akan menindaklanjuti surat masuk melalui rapat pimpinan
(rapim), tetapi hingga saat ini belum ada jadwal rapim terkait surat pemakzulan
Gibran.
“Kalau
surat resmi masuk, ya itu kan ke sekretariat. Kalau dianggap penting, baru kita
lakukan rapim,” jelasnya. Menurutnya, keputusan untuk menggelar rapim ada di
tangan Ketua MPR, Ahmad Muzani.
Surat
yang dikirim Forum Purnawirawan TNI bertanggal 26 Mei 2025 itu ditandatangani
oleh empat purnawirawan jenderal: Jenderal (Purn) Fachrul Razi, Marsekal (Purn)
Hanafie Asnan, Jenderal (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana (Purn) Slamet
Soebijanto.
Isi surat
tersebut mempersoalkan keabsahan pencalonan Gibran yang didasarkan pada Putusan
MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang dinilai cacat hukum karena diputus oleh Anwar
Usman—paman Gibran—yang telah terbukti melanggar etik oleh Majelis Kehormatan
MK.
Forum
juga menyoroti kelayakan pribadi Gibran sebagai Wapres, mengingat pengalaman
politiknya yang minim serta latar belakang pendidikannya yang dipertanyakan.
Mereka juga menyinggung kontroversi akun media sosial "fufufafa" yang
pernah dikaitkan dengan Gibran karena kontennya dinilai bermuatan seksual,
rasis, dan menghina tokoh publik.
Surat
tersebut kini sudah diterima oleh Sekretariat Jenderal DPR RI dan diteruskan ke
pimpinan DPR.
“Iya
benar, kami sudah terima surat tersebut, dan sekarang sudah kami teruskan ke
pimpinan,” ujar Sekjen DPR RI Indra Iskandar. Namun, Wakil Ketua DPR Sufmi
Dasco Ahmad mengaku belum membaca surat itu karena masih berada di tangan
sekretariat.
Prosedur Pemakzulan dan Hambatan Politik
Berdasarkan
UUD 1945, presiden atau wakil presiden dapat diberhentikan apabila terbukti
melakukan pelanggaran hukum seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat, perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat
lagi sebagai pemimpin negara.
Prosesnya
dimulai dari DPR yang mengusulkan ke MK untuk menilai apakah pelanggaran
benar-benar terjadi. Jika MK menyatakan ada pelanggaran, usulan diteruskan ke
MPR untuk diputuskan. Sidang MPR harus dihadiri 3/4 anggota dan disetujui oleh
minimal 2/3 dari anggota yang hadir.
Namun,
faktor politik tetap menjadi penentu utama. Pakar hukum tata negara dari UGM,
Yance Arizona, menilai desakan pemakzulan ini belum memiliki dasar hukum yang
kuat.
“Argumen-argumennya
tidak begitu solid secara hukum. Bisa jadi ini lebih merupakan manuver politik
dan bukan proses hukum konstitusional,” kata Yance, dikutip dari situs resmi
UGM.
Ia
menambahkan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, opini publik atau
tekanan politik tidak dapat menggantikan prosedur hukum yang harus ditempuh
secara sah dan objektif.
Post a Comment