Desakan Pemakzulan Gibran Disambut Dingin Fraksi-fraksi DPR

JMNpost.com | Jakarta, - Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat setelah Forum Purnawirawan Prajurit TNI menyurati pimpinan DPR, MPR, dan DPD RI agar segera memulai proses pemberhentian Gibran dari jabatannya. Namun sejumlah fraksi di DPR RI tampak merespons surat tersebut dengan sikap hati-hati dan cenderung enggan menindaklanjutinya secara serius dalam waktu dekat.

Sekretaris Fraksi Partai Nasdem DPR RI Ahmad Sahroni menyatakan bahwa siapapun sah-sah saja menyampaikan aspirasi, namun proses pemakzulan tidaklah sederhana.

"Saya rasa itu akan panjang sekali prosesnya, dan enggak semudah yang kita bayangkan," ujar Sahroni kepada media. Ia menambahkan, surat yang masuk akan difilter terlebih dahulu oleh Kesetjenan DPR. "Surat boleh dikirim dari pihak mana pun. Tapi, surat mana saja yang diprioritaskan itu menjadi bagian administrasi Kesetjenan DPR RI," jelasnya.

Ketua Fraksi Partai Golkar Muhammad Sarmuji menilai Wapres Gibran belum melakukan pelanggaran hukum atau tindakan tercela yang dapat dijadikan dasar pemakzulan.

"Wapres Gibran tidak melakukan hal yang bisa menjadi alasan pemakzulan," kata Sarmuji. Meski demikian, ia menyatakan surat dari Forum Purnawirawan tetap akan diterima dan dipelajari. "Untuk tindak lanjut, kita pelajari apakah berkesesuaian dengan amanat konstitusi dan perundangan yang berlaku," tambahnya.

Sikap serupa ditunjukkan oleh Fraksi PKB. Anggota Fraksi PKB Daniel Johan mengatakan setiap surat yang masuk akan dibahas oleh DPR, namun ia sendiri belum mengetahui isi detail surat tersebut.

"Tentu setiap surat masukan akan dibahas oleh komisi terkait dan fraksi nantinya," ujar Daniel singkat.

Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PDI-P, Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul, menambahkan bahwa MPR akan menindaklanjuti surat masuk melalui rapat pimpinan (rapim), tetapi hingga saat ini belum ada jadwal rapim terkait surat pemakzulan Gibran.

“Kalau surat resmi masuk, ya itu kan ke sekretariat. Kalau dianggap penting, baru kita lakukan rapim,” jelasnya. Menurutnya, keputusan untuk menggelar rapim ada di tangan Ketua MPR, Ahmad Muzani.

Surat yang dikirim Forum Purnawirawan TNI bertanggal 26 Mei 2025 itu ditandatangani oleh empat purnawirawan jenderal: Jenderal (Purn) Fachrul Razi, Marsekal (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto.

Isi surat tersebut mempersoalkan keabsahan pencalonan Gibran yang didasarkan pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang dinilai cacat hukum karena diputus oleh Anwar Usman—paman Gibran—yang telah terbukti melanggar etik oleh Majelis Kehormatan MK.

Forum juga menyoroti kelayakan pribadi Gibran sebagai Wapres, mengingat pengalaman politiknya yang minim serta latar belakang pendidikannya yang dipertanyakan. Mereka juga menyinggung kontroversi akun media sosial "fufufafa" yang pernah dikaitkan dengan Gibran karena kontennya dinilai bermuatan seksual, rasis, dan menghina tokoh publik.

Surat tersebut kini sudah diterima oleh Sekretariat Jenderal DPR RI dan diteruskan ke pimpinan DPR.

“Iya benar, kami sudah terima surat tersebut, dan sekarang sudah kami teruskan ke pimpinan,” ujar Sekjen DPR RI Indra Iskandar. Namun, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengaku belum membaca surat itu karena masih berada di tangan sekretariat.

Prosedur Pemakzulan dan Hambatan Politik

Berdasarkan UUD 1945, presiden atau wakil presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai pemimpin negara.

Prosesnya dimulai dari DPR yang mengusulkan ke MK untuk menilai apakah pelanggaran benar-benar terjadi. Jika MK menyatakan ada pelanggaran, usulan diteruskan ke MPR untuk diputuskan. Sidang MPR harus dihadiri 3/4 anggota dan disetujui oleh minimal 2/3 dari anggota yang hadir.

Namun, faktor politik tetap menjadi penentu utama. Pakar hukum tata negara dari UGM, Yance Arizona, menilai desakan pemakzulan ini belum memiliki dasar hukum yang kuat.

“Argumen-argumennya tidak begitu solid secara hukum. Bisa jadi ini lebih merupakan manuver politik dan bukan proses hukum konstitusional,” kata Yance, dikutip dari situs resmi UGM.

Ia menambahkan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, opini publik atau tekanan politik tidak dapat menggantikan prosedur hukum yang harus ditempuh secara sah dan objektif.

 

Post a Comment

Previous Post Next Post