![]() |
Ilustrasi |
Sengketa atas empat pulau di perairan Singkil kembali
memanas. Pemerintah Aceh menyatakan penolakannya atas manuver Pemerintah
Provinsi Sumatera Utara (Sumut) yang kembali mengklaim wilayah Pulau Panjang,
Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Lipan.
Keempat pulau ini telah disepakati sebagai bagian dari
wilayah Provinsi Aceh sejak tahun 1992 melalui dokumen resmi yang
ditandatangani oleh Gubernur Sumut saat itu, Raja Inal Siregar, dan Gubernur
Aceh, Prof. Dr. Ibrahim Hasan.
Kesepakatan tersebut difasilitasi langsung oleh Menteri
Dalam Negeri saat itu, Rudini, dan ditandatangani di Jakarta. Dalam
poin-poinnya, kesepakatan menyatakan bahwa:
1. Keempat pulau diakui sebagai wilayah administratif
Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.
2. Pemerintah Sumut tidak diperbolehkan lagi mengklaim
kedaulatan atau mengeluarkan izin usaha di kawasan tersebut.
3. Pengelolaan sumber daya alam di wilayah itu sepenuhnya
menjadi wewenang Pemerintah Aceh.
4. Kerja sama teknis lintas provinsi hanya dibolehkan untuk
kepentingan konservasi dan pengelolaan bersama yang tidak bersifat kedaulatan.
Kesepakatan 1992 itu tidak hanya sah secara administratif,
tetapi juga telah diperkuat secara hukum. Pasal 246 dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyatakan bahwa batas wilayah Aceh
tetap merujuk pada peraturan dan kesepakatan yang berlaku sebelumnya.
Lebih lanjut, Mahkamah Agung Republik Indonesia juga telah
menolak upaya Sumatera Utara menggugat kesepakatan tersebut melalui Putusan
Nomor 01.P/HUM/2013, yang memperkuat posisi hukum Aceh dalam sengketa ini.
“Kami tegaskan, empat pulau itu bukan milik Sumut. Sudah ada
kesepakatan resmi, sah secara hukum, dan diperkuat Mahkamah Agung. Kalau ada
pihak yang mau utak-atik lagi, itu sama saja tidak menghormati negara,” ujar
salah satu pejabat Pemerintah Aceh yang enggan disebutkan namanya.
Menurut sumber lain, klaim ulang Sumut akhir-akhir ini
didorong oleh kepentingan ekonomi, seperti potensi perikanan, migas, dan
pariwisata. Bahkan, isu ini disebut-sebut sengaja dimunculkan kembali untuk
memfasilitasi investasi pengusaha tertentu dan membangun pengaruh politik
lintas wilayah.
Namun bagi Pemerintah Aceh, langkah ini dianggap mencederai
kesepakatan nasional dan melanggar prinsip penghormatan terhadap hukum dan
sejarah.
“Bobby bawa peta, tapi lupa baca arsip,” sindir seorang
aktivis Aceh, menanggapi pernyataan Wali Kota Medan Bobby Nasution yang sempat
menyebut wilayah pulau-pulau itu masih dalam peta Sumut.
Aceh juga menyatakan siap membawa persoalan ini ke ranah
hukum nasional maupun internasional jika Pemerintah Sumut tetap memaksa
menghidupkan kembali sengketa yang sudah selesai lebih dari tiga dekade lalu.
“Kami menghormati sejarah, hukum, dan janji lama. Sumut
harus berhenti mengada-ada,” tegas seorang tokoh masyarakat Singkil.
Post a Comment