KEMBALIKAN PULAU KAMI ATAU REFERENDUM FOR ACEH



JMNpost.com | Pulau bukan sekadar tanah yang terpisah di tengah laut dan jauh dari daratan, tapi pulau adalah identitas sebuah bangsa, dan martabat suatu kaum bermula dari sana. Pulau walaupun kecil tidak berarti nilainya kecil, tapi pulau adalah integrity dan keutuhan sebuah wilayah wajib dipertahankan keutuhan oleh tuannya.

Sejak berabad yang lampau Barus dan Nias adalah milik kesultanan Aceh Darussalam, konon lagi ke empat pulau lebih dekat ke Singkil. Barus dan Nias serta kawasan lainnya dulu dirampok oleh Belanda dari Kesultanan Aceh. Sekarang setelah Aceh bergabung ke dalam Indonesia, kembali mau dirampok dari Aceh dengan berbagai dalih dan alasan. 

Dokumen keabsahan tentang keempat pulau tersebut milik Aceh, telah ada sejak zaman Kolonial Hindia Belanda atau pada tahun 1922. Dalam sebuah dokumen Hindia Belanda, tertanggal 20 November 1922 No. 2921/Jo, Direktur Pengendalian Hama Rumah Tangga yang ditujukan ke Pemerintahan Sementara Hindia Belanda di Koeta Radja (Banda Aceh), untuk melaporkan sejumlah tanaman di Wilayah Sub Divisi Singkil, termasuk juga beberapa pulau di dalamnya. Surat tersebut kemudian mendapat balasan dari Koeta Radja, pada tanggal 8 Juli 1925 yang ditujukan untuk pengelola di Sub Divisi Singkil.

Jadi peraturan Mendagri soal pengalihan keempat pulau milik Aceh ke Sumut itu diputuskan dengan tidak melibatkan stakeholder, baik dari pihak Aceh maupun dari stakeholder yang memang paham mengenai sejarah keempat pulau tersebut. Mengalihkan wilayah administratif—termasuk pulau dari Provinsi Aceh ke Provinsi Sumatera Utara (Sumut), tidak bisa diterima karena dipindahkan dan dilakukan secara sepihak. Sebenarnya proses pemindahan batas provinsi, kabupatan dan kecamatan itu sangat ketat dan melibatkan berbagai tingkat pemerintahan. 

Berikut adalah pihak-pihak yang berwenang dan dasar hukum yang mengatur ; 
Dasar Hukum dan Prosedur Pemindahan Wilayah Antar Provinsi. Undang-Undang Dasar 1945 dan UU Pemerintahan Daerah Pasal 18 UUD 1945: Pembagian wilayah administratif harus diatur dengan UU. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur soal batas wilayah dan kewenangan antar daerah. Pemindahan wilayah harus lewat Undang-Undang Pemindahan wilayah antar provinsi, termasuk pulau atau kecamatan, harus melalui undang-undang yang disahkan oleh DPR dan Presiden. Tidak bisa hanya dengan Peraturan Presiden, Instruksi Menteri, atau Keputusan Gubernur. 

Jadi seharusnya yang bisa memberi izin dalam hal ini adalah; 
Pertama, DPR RI dan Presiden, itupun oleh DPR dan Presiden harus melalui RUU yang bisa meresmikan perubahan batas wilayah antar provinsi.

Kedua, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
Kemendagri dalam hal ini bertugas mengkoordinasikan pengkajian teknis dan administratif sebelum RUU disusun. Melibatkan Pusat Pemetaan Batas Wilayah (BIG – Badan Informasi Geospasial) dan Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan.

Ketiga, Pemerintah Daerah Terkait (Aceh dan Sumut)
Gubernur, DPRD, dan Bupati/Walikota dari daerah asal dan tujuan harus menyetujui terlebih dahulu. Termasuk melibatkan rakyat melalui konsultasi publik. TIDAK SAH jika: Hanya berdasarkan SK Gubernur atau Bupati. Hanya karena investasi atau proyek pemerintah pusat (misalnya, tambang, pariwisata). Tanpa keterlibatan DPR dan DPRD. 

KHUSUS ACEH: karena status Aceh adalah daerah dengan status otonomi khusus, yang diatur oleh: UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Segala perubahan wilayah harus sesuai mekanisme khusus, termasuk persetujuan DPRA (DPR Aceh) dan dengan mempertimbangkan kekhususan Aceh.  

Jadi Status pulau milik Aceh yang oleh Kemendagri telah mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-145 Tahun 2022 dan ditegaskan kembali dalam Kepmendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang menetapkan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara , kami nilai adalah tindakan tergesa-gesa dan tanpa koordinasi dengan Presiden dan DPR RI, juga dengan pihak terkait di daerah.

Kita tahu keempat pulau, yakni Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang telah melalui proses verifikasi data sejak 2008. Tapi Gunernur Aceh, yang saat itu dijabat oleh Irwandi Yusuf telah menyampaikan protes ke Jakarta melalui surat No. 136/40430 Tgl. 15 Nov. Tahun 2017, Gub. Aceh menyampaikan bahwa berdasarkan Peta Topografi TNI AD 1978, 4 Pulau masuk dalam wilayah Aceh. Pada 30 November 2017, Kemendagri melakukan analisis spasial dengan hasil: 4 Pulau sebagai cakupan wilayah Prov. Sumut. Peta Topografi tahun 1978 dan Peta RBI bukan referensi resmi mengenai batas administrasi nasional maupun internasional dan Surat Dirjen Bina Adwil No. 125/8177/BAK Tgl. 8 Des. 2017 yang menegaskan bahwa 4 Pulau masuk ke dalam cakupan wilayah Prov. Sumut

Pada tahun 2018 dimulainya upaya rekonsiliasi. Gubernur Aceh bersurat kepada Kemendagri Nomor 136/30705 tanggal 21 Desember 2018 perihal revisi koordinat 4 Pulau di Kab. Aceh Singkil. Pada Tahun 2019. Gubernur Aceh pada 31 Desember 2019 kembali mengirim surat kepada Kemendagri Perihal fasilitasi penyelesaian garis batas laut Aceh dan Sumut. Namun pada tahun 2020-2022 oleh Kemendagri dan Kemenko Marves melakukan Masa Penetapan. 
Kemendagri, Kemenko Marves, Kementerian KKP, Pushidrosal TNI AL, BIG, LAPAN, Direktorat Topografi TNI AD mengadakan rapat yang menyepakati 4 Pulau masuk Sumut. 14 Feb 2022 Terbit Kepmendagri No. 050-145 Tahun 2022 yang menetapkan 4 Pulau tersebut masuk dalam wilayah Kab. Tapanuli Tengah, Prov. Sumut, berdasarkan data dari Gazeter RI Tahun 2020. Pada tanggal 13 Feb 2022 Tim Pusat bersama Pemda Aceh dan Pemda Sumut mengadakan rapat membahas status 4 Pulau, namun tidak mencapai kesepakatan, kemudian terbit Permendagri No. 58 Tahun 2021 tentang Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau. 

Gubernur Aceh dan Bupati Aceh Singkil menyampaikan somasi/keberatan terhadap Kepmendagri No. 050-145 Tahun 2022 terkait status 4 Pulau. Pada bulan Mei hingga juni 2022, Tim Pusat bersama Pemda Aceh, Pemda Prov. Sumut, Pemda Kab. Aceh Singkil dan Pemda Kab. Tapanuli Tengah melakukan survei faktual ke 4 Pulau. Pada April 2025, terbit Kepmendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang memuat substansi yang sama dengan Kepmendagri No. 050-145 Tahun 2022, yaitu menetapkan 4 Pulau masuk wilayah Sumut.

Saat ini jelas terlihat bahwa pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri, sangat ingin memaksakan untuk pemindahan pulau dari Aceh ke Sumut. Padahal secara administratif hanya bisa dilakukan melalui Undang-Undang yang disetujui oleh DPR RI dan Presiden, serta dengan proses panjang yang melibatkan Kemendagri di dalamnya, pemerintah daerah, serta masyarakat. Pemindahan tidak bisa dilakukan hanya oleh satu institusi saja.

Kami Aceh tidak suka mengusik dan juga tidak suka diusik, dan dalam kalangan masyarakat Aceh ungkapan ; "Bagi Aceh, tanah adalah darah", ini adalah sebuah metafora yang kuat yang menggambarkan betapa pentingnya tanah bagi kami masyarakat Aceh. Ungkapan ini menunjukkan bahwa tanah bukan sekadar objek atau komoditas, tetapi memiliki nilai yang sangat mendalam, bahkan sebanding dengan darah, yang merupakan sumber kehidupan. 

Ini mencerminkan sejarah panjang perjuangan kami rakyat Aceh dalam mempertahankan wilayah kami, dan keyakinan bahwa tanah adalah bagian integral dari identitas dan keberlangsungan hidup bagi kami. Bagi kami masyarakat Aceh, tanah bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga bagian dari identitas budaya dan sejarah leluhur kami. 

Bagi kami tanah juga sebagai Kedaulatan: Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa tanah adalah simbol kedaulatan dan kemerdekaan. Kami Rakyat Aceh telah berjuang keras untuk mempertahankan tanah kami dari berbagai bentuk penjajahan dan gangguan.

Tanah sebagai Kehidupan: Ungkapan ini menyiratkan bahwa tanah memberikan kehidupan bagi kami masyarakat Aceh. Tanah menyediakan sumber pangan, mata pencaharian, dan tempat tinggal. Oleh karena itu, kehilangan tanah sama dengan kehilangan sumber kehidupan.

Perjuangan dan Pengorbanan: Ungkapan ini juga mengingatkan pada pengorbanan yang telah dilakukan oleh rakyat Aceh dalam mempertahankan tanah mereka. Banyak nyawa telah hilang dalam perjuangan tersebut, dan tanah menjadi saksi bisu dari pengorbanan tersebut.
Dengan demikian, ungkapan "Bagi Aceh, tanah adalah darah" adalah ungkapan yang sangat kuat yang menggambarkan betapa pentingnya tanah bagi masyarakat Aceh, tidak hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai simbol identitas, kedaulatan, dan kehidupan.

Jadi hari ini Jakarta jangan coba-coba mengusik kami, kami tidak gentar dalam menghadapi seberapapun besarnya kekuatan yang akan mengganggu kedaulatan dan marwah kami. Kami siap melawan !

Tindakan sepihak Mendagri mengarah upaya melemahkan isi dan butir-butir kesapakatan damai MoU Helsinki. Termasuk yang terakhir pernyataan dari Menko Bid Hukum, HAM dan Imigrasi (Yusril Ihza Mahendra), Yusril menyampaikan bahwa ; Perjanjian Helsinki & UU’ 56 Tidak Atur Batas 4 Pulau Sengketa (CNN/16/6/25). Hal ini justru berbanding terbalik dengan pernyataan Jusuf Kalla yang menyatakan bahwa empat pulau yang disengketakan adalah milik Aceh (Kompas/15/6/25). 

Jika membuka apa yang diungkapkan oleh Henry Kissinger, tentang rasionalisasi administrasi kolonial yang menciptakan satuan-satuan wilayah untuk lebih efisien secara birokrasi, tetapi sering kali mengabaikan identitas historis dan kultural. Aceh, sebagai entitas politik yang merdeka, Aceh dipaksa masuk ke dalam struktur Hindia Belanda dan kemudian ke dalam Republik Indonesia tanpa konsultasi yang setara terlebih dahulu. Upaya-upaya untuk memecah belah Aceh termasuk dimunculkannya isu pemekaran provinsi Aceh menjadi tiga provinsi. Padahal jelas batas Aceh telah tertuang dalam kesapakatan MoU Helsinki, merujuk pada perjanjian 1956.

Sekiranya kasus empat pulau ini terselesaikan dalam waktu dekat sesuai janji presiden Prabowo. Maka izinkan kami rakyat Aceh untuk ‘pamit’ dari Indonesia. Kehidupan kita selama ini ‘tidak harmonis’, sudah 79 tahun hidup bersama, namun senantiasa berujung petaka dan kesedihan. Rencana terselubung tetap ada dari Jakarta mengusik ketentraman dan keharmonisan rumah tangga.

Mengingat Jakarta sering kali ingkar janji dan senantiasa melakukan pengkhianatan-pengkianatan atas Aceh, maka sudah sepatutnya Aceh ‘pamit’ dengan Jakarta tanpa perang, tanpa bau mesiu, tanpa darah dan air mata. Maka Referendum merupakan solusi yang paling tepat untuk penyelesaian kasus Aceh dengan Jakarta. Kalau dulu pada saat perjanjian damai tahun 2005, masyarakat internasional terlibat (Uni Eropa dan beberapa negara Asia Tenggara) dalam proses damai Aceh. Maka sekarang sekali lagi kami mengundang masyarakat internasional untuk terlibat memfasilitasi dilaksanakn referendum di Aceh.


Langsa, 17 Juni 2025

GEUSABA
Gerakan Srikandi Aceh Bangkit 

Siti Maryam Ali Nurdin,S.Ag
----------------------------------
Direktur

Post a Comment

Previous Post Next Post