Keadilan Terbalik di Aceh Timur: Penandatangan Proyek Aman, Penyedia Jadi Tumbal




JMNpost.com | Banda Aceh, - Dugaan rekayasa hukum dalam penanganan perkara pembangunan Gudang Arsip UPTD Aceh Timur Tahun Anggaran 2022 semakin menjadi sorotan. Dua nama yang secara hukum memiliki posisi paling bertanggung jawab justru tidak tersentuh oleh Kejaksaan Negeri Aceh Timur. Mereka adalah Syahrial Faujar, ST., MT., selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan Arif Munandar, S.Tr.T., Konsultan Pengawas sekaligus Direktur CV. Rapido Meugah Karya.

Informasi ini sebagian dikutip dari laporan investigatif Satupilar.com, yang tayang pada Senin, 26 Mei 2025 pukul 09.44 WIB. Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa kedua pejabat ini menandatangani sejumlah dokumen penting yang menjadi dasar pencairan proyek senilai Rp1,76 miliar dari APBA 2022. Dokumen tersebut antara lain SPTJM oleh KPA, Surat Pernyataan PHO oleh Konsultan, serta surat pengantar pencairan dana. Dalam surat tertanggal 22 Desember 2022, Syahrial secara resmi meminta Arif Munandar menyatakan bahwa pekerjaan telah 100 persen selesai dan layak diserahterimakan.

Namun, ironi muncul ketika dalam proses penyidikan yang terkesan “tajam ke bawah tapi tumpul ke atas”, dua nama lain justru ditetapkan sebagai tersangka: Mahdi Amin, penyedia jasa, dan Budi Hermawan, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Padahal, keduanya tidak memiliki otorisasi pengesahan teknis maupun keuangan dalam proyek tersebut.

Dalam artikel yang sama, Satupilar.com juga menyinggung dugaan adanya hubungan emosional dan geografis antara istri KPA Syahrial Faujar, yaitu Rosdiana, ST., yang akrab disapa Dedek, dengan salah satu petinggi Kejaksaan Tinggi Aceh yang juga berasal dari Ulim, Pidie Jaya.

Situasi ini memunculkan pertanyaan tajam:
Apakah relasi geografis dan emosional bisa menjadi tameng kebal hukum?
Mengapa KPA dan Konsultan yang menandatangani semua dokumen pencairan justru tidak dimintai pertanggungjawaban?

Tiga Pertanyaan Kritis untuk Kejari Aceh Timur:

  1. Mengapa KPA dan Konsultan yang memiliki otoritas penuh tidak ikut diperiksa, bahkan tidak dimintai keterangan?
  2. Jika negara dirugikan, mengapa bukan mereka yang paling dulu dimintai pertanggungjawaban?
  3. Apakah hukum di Aceh Timur masih berjalan berdasarkan alat bukti — atau berdasarkan jaringan keluarga?

Para jurnalis menyatakan akan terus menyuarakan kejanggalan ini dan mendesak Komisi Kejaksaan RI, Jamwas Kejaksaan Agung, serta Komisi III DPR RI untuk turun tangan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penanganan kasus oleh Kejari Aceh Timur.

“Ketika Konsultan dan KPA yang punya kewenangan menandatangani tetap bebas, tapi penyedia dan PPTK yang dipenjara, kita sedang menyaksikan tragedi keadilan dalam panggung birokrasi lokal,” ujar seorang jurnalis investigasi yang enggan disebut namanya.

Sumber kutipan: Satupilar.com – “Skandal Aceh Timur: Saat Hukum Digerakkan oleh Koneksi, Bukan Fakta”, tayang Senin, 26 Mei 2025 pukul 09.44 WIB.

Post a Comment

Previous Post Next Post