JMNpost.com | Aceh Timur, - Sebuah blog anonim dengan alamat jurnalispolice.blogspot.com menghebohkan publik Aceh Timur. Blog tersebut memuat berbagai tulisan yang menuduh aparat kepolisian dan pejabat kecamatan dari wilayah tertentu melakukan kejahatan berat, mulai dari korupsi miliaran rupiah, kekerasan dalam rumah tangga, hingga membekingi aktivitas ilegal.
Salah satu narasi yang paling mencolok adalah tuduhan bahwa seorang anggota polisi telah mendorong istrinya yang sedang hamil dari dalam mobil yang sedang melaju.
Selain itu, disebut pula bahwa seorang camat di Aceh Timur diduga memiliki aset dan uang yang tidak wajar hingga miliaran rupiah, namun tidak dijelaskan asal-muasal angka tersebut.
Tulisan-tulisan itu disusun dengan gaya emosional dan sensasional. Sayangnya, tidak satu pun dilengkapi dengan dokumen hukum, bukti foto, video, atau konfirmasi dari pihak berwenang. Tidak ada rujukan ke proses hukum, laporan polisi, maupun hasil audit yang sah.
Dalam dunia informasi digital, blog yang dibuat tanpa identitas jelas dan tidak menyertakan data resmi tidak bisa dijadikan rujukan. Apalagi jika isinya hanya menyudutkan satu pihak, dalam hal ini aparat dan pejabat dari wilayah tertentu.
Blog yang narasinya berputar-putar hanya pada sosok tertentu, tanpa ruang klarifikasi atau konfirmasi, justru memperlihatkan kecenderungan subjektif yang kuat. Beberapa warga yang membaca isi blog itu juga mulai meragukan motif di baliknya.
“Kalau benar, pasti ada proses hukum. Kalau tidak ada proses hukum, lalu kenapa kita harus percaya isi tulisan yang bahkan tidak tahu siapa penulisnya?” kata seorang warga dari Idi Cut.
Blog seperti ini dinilai berpotensi melanggar hukum. Menyebarkan informasi yang tidak benar dan menimbulkan keresahan sosial bisa dijerat dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang penyiaran berita bohong yang menyebabkan keonaran.
Namun, karena sebagian besar tuduhan yang dimuat bersifat menyerang pribadi atau jabatan, penindakan hukum memerlukan adanya laporan resmi dari pihak yang merasa dirugikan.
Pihak-pihak yang disebut dalam blog tersebut sejauh ini belum memberikan tanggapan terbuka. Informasi yang diterima JMNpost.com menyebutkan bahwa mereka telah mengetahui keberadaan tulisan-tulisan tersebut dan tengah mempertimbangkan langkah hukum jika fitnah terus berlanjut.
Sikap diam ini bukanlah bentuk pembenaran atas tuduhan, melainkan seringkali dipilih untuk menjaga stabilitas sosial dan menghindari respons emosional di ruang publik.
Beberapa tokoh masyarakat menilai bahwa mereka mungkin masih memberi ruang kepada penulis untuk menyadari kesalahan dan menghentikan penyebaran fitnah.
Ketiadaan tanggapan dari institusi yang difitnah bukan berarti persoalan ini ringan. Justru ini menjadi ancaman serius bagi tatanan sosial jika publik terus-menerus terpapar narasi tanpa dasar. Blog tersebut bisa menjadi alat penyebar disinformasi yang menggiring opini publik untuk membenci atau mencurigai pihak tertentu tanpa proses klarifikasi dan pembuktian.
Di tengah era digital yang cepat, masyarakat dituntut untuk memilah informasi dengan lebih cerdas. Kecepatan menyebar tidak sama dengan kebenaran.
Beberapa pengamat juga mengingatkan bahwa menyebarkan kembali isi blog yang mengandung tuduhan tanpa bukti bisa menjerat pihak penyebar sebagai pelaku. Di sinilah pentingnya literasi digital dan kedewasaan masyarakat dalam bermedia.
Pemerintah daerah, institusi pendidikan, tokoh agama, dan kelompok masyarakat sipil didorong lebih aktif mengedukasi masyarakat tentang bahaya fitnah digital dan pentingnya saring sebelum sharing.
Jika keberadaan blog ini terus dibiarkan tanpa dilawan secara rasional, terbuka kemungkinan akan muncul keretakan sosial yang lebih dalam. Fitnah yang terus diulang-ulang bisa membentuk persepsi kolektif yang keliru.
Maka, perlu kehati-hatian dan tanggung jawab bersama untuk tidak ikut menyebarkan, mempercayai, atau memanfaatkan informasi anonim yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya.
Aktivis Aceh Timur, Mahdi, juga menanggapi serius keberadaan blog tersebut. Ia meminta Polres Aceh Timur tidak diam dan segera mengambil langkah tegas sebelum isi blog itu semakin merusak citra institusi.
“Kalau dibiarkan terus-menerus, ini akan jadi preseden buruk. Polres harus hadir, bukan hanya ketika ada laporan, tapi juga ketika marwah institusi dirusak secara terbuka,” ujarnya.
Hukum tetap menjadi saluran resmi yang sah jika ada pelanggaran. Tapi tanggung jawab moral dan sosial harus dimulai dari pembaca sendiri.
Post a Comment