Oleh Tim Redaksi JMNpost.com
EMPAT pulau di Aceh Singkil kembali jadi bahan klaim Sumatera Utara. Setelah Menteri Dalam Negeri menerbitkan Kepmen 050-145 Tahun 2022 yang menggeser batas peta administratif secara sepihak, Ketua DPRD Sumut, Erni Aryani, langsung menyebut bahwa pulau-pulau itu “sudah sah milik Sumut”. Tidak cukup sampai di situ, Wali Kota Medan Bobby Nasution muncul dengan ajakan absurd: mengajak Aceh bekerjasama mengelola wilayah yang sedang mereka rampas.
Kami dari Redaksi JMNpost.com tidak sekadar menolak klaim ini. Kami anggap ini penghinaan terang-terangan terhadap sejarah, konstitusi, dan martabat Aceh. Dan lebih dari itu, kami anggap ini sebagai bentuk penjajahan administratif.
Ini bukan soal perebutan wilayah. Ini soal penggeseran batas administratif yang dilakukan secara diam-diam, tanpa dasar hukum yang kuat, dan tanpa melibatkan rakyat Aceh. Ini bukan kesalahan teknis. Ini bukan kelalaian birokrasi. Ini perampasan dengan stempel negara.
Lalu setelah tanah kami digeser, kami pula yang disuruh menggugat ke PTUN? Ini logika pembalik. Yang dirampas malah diminta membuktikan haknya. Padahal sejarah, UU Nomor 24 Tahun 1956, bahkan MoU Helsinki 2005 sudah menegaskan: wilayah itu bagian dari Aceh, titik.
Sebagai wajah baru di politik, seharusnya Bobby dan Ketua DPRD Sumut datang membawa akal sehat dan kedewasaan demokrasi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Pernyataan mereka memperlihatkan ambisi ekspansi wilayah dengan dalih administrasi, dan menabrak etika antar daerah bertetangga.
Ajakan Bobby untuk “berkerjasama dengan Aceh” dalam mengelola pulau-pulau itu adalah bentuk kolaborasi yang tidak pantas. Itu seperti maling ngajak korban bisnis bareng atas hasil curian. Mana mungkin Aceh mau?
Kami ingin mengingatkan: pulau-pulau itu bukan tanah tak bertuan. Itu tanah yang dicintai oleh orang-orang yang selama ini hidup sebagai bagian dari Aceh. Memindahkan mereka ke Sumut tanpa suara adalah bentuk kolonialisme baru.
Mungkin Bobby dan elite Sumut lupa satu hal yang sangat penting: Aceh bukan bangsa yang bisa dijajah. Sejarah terlalu panjang untuk disapu oleh selembar Kepmen. Kalau bangsa lain bisa ditundukkan dengan tanda tangan dan pertemuan di hotel, Aceh adalah pengecualian. Aceh tidak pernah benar-benar kalah—karena Aceh memang dilahirkan untuk melawan.
Dan kalau mereka masih bersikeras mencoba menjajah Aceh, kami hanya bisa beri peringatan: orang Aceh itu kalau perang, semangatnya kayak orang makan pulut hijau sore-sore — santai, tapi berulang dan tidak pernah bosan. Jangan dikira diam kami itu lemah. Itu hanya jeda. Karena kalau semangat perlawanan sudah dinyalakan, maka siapapun yang menyalakan api itu, akan kehabisan napas lebih dulu.
Jadi sebelum terlalu jauh berfantasi soal klaim pulau, sebaiknya elite Sumut urus dulu hal yang lebih mendesak di rumah sendiri: preman-preman jalanan, begal motor yang belum ketahuan rumahnya, dan indeks kriminalitas kota-kota besar yang naik turun seperti suhu kompor gas. Kami sarankan: tenangkan pikiran, jangan dulu bicara soal perluasan wilayah. Nanti salah langkah, malah mempermalukan provinsinya sendiri di hadapan sejarah.
Kalau ada yang harus menggugat, justru publik Sumut yang layak bertanya: mengapa elite mereka begitu bernafsu menambah wilayah dengan cara licik? Apakah provinsi ini kekurangan lahan? Atau kekurangan martabat sehingga harus merampas milik tetangga?
Kami menyerukan agar Sumut berhenti mempermalukan diri. Bukan Aceh yang kehilangan. Tapi Sumut yang kehilangan arah.
Kami dari Redaksi JMNpost.com menyatakan dengan terang: Aceh tidak akan pernah tunduk atas klaim kosong. Kami tidak akan menggugat karena kami tidak kehilangan. Yang harus khawatir adalah mereka yang menyebut rampasan itu sah.
Karena bagi Aceh, ini bukan sekadar pulau. Ini soal harga diri.
Post a Comment