SENIMAN



Oleh Muhammad Subhan

SENIMAN adalah makhluk yang diciptakan dengan rasa lebih banyak dari logika.

Ia lahir bukan untuk mengejar jabatan. Ia tumbuh bukan untuk mencari kekuasaan. Ia hadir untuk memberi makna. Makna pada hidup, pada luka, pada dunia.

Seniman menciptakan, bukan sekadar membuat. Ia menghidupkan sesuatu dari yang semula hanya ide. Ia menyulap sunyi menjadi puisi. Mengubah derita menjadi nada. Mengukir duka dalam kanvas warna.

Seniman adalah manusia. Manusia biasa. Namun dengan jiwa yang tak biasa.

Advertising 

Hamka menulis dalam buku “Kenang-Kenangan Hidup” (Buku Dua, Balai Pustaka, 2015):

"Tetapi kadang-kadang ahli seni itu sendiri bernasib nampaknya malang, hilang dilamun ombak zaman. Orang telah membagi-bagi pusaka, tampil ke muka, mana yang tampil, mendapat kursi mana yang mencari kursi, namun seniman hanya tetap dalam alamnya sendiri, dan akan tampil ke muka pula dengan hati gembira bilamana keadaan menghendaki, didesak oleh rasa seni itu pula. Segala-galanya datanglah dan pergilah, cuma satu yang ditakutkannya, kalau sekiranya inspirasi atau ilham pun tidak datang-datang lagi kepadanya. Sebab itu, adalah seniman itu pembujuk tangis atau penimbul air mata, pengubah bahasa, pengobat rindu dan dendam, pencipta perasaan umum, pencinta keindahan. Di samping itu, seniman adalah kepala pemberontak, penumbang kekuasaan yang lama, perintis jalan baru, pemuja alam dan pengabdi Tuhan. 

Seniman adalah manusia, karena seninya jelas kemanusiaannya bahwa dia bukan Tuhan, bukan malaikat dan bukan pula setan. Dia adalah dipaksa, dengan maunya atau tidak maunya, buat menyatakan keadilan dan kebenaran, kadang-kadang bagai lilin yang dirinya sendiri hangus buat memberi cahaya bagi orang lain. Dan sendi dari semua ialah kemerdekaan jiwa dan bebas daripada pengaruh duniawi, pengaruh maddah (benda materi) dalam mengabdi keindahan. Dan kadang-kadang kamarnya bersebelah-sebelahan dengan dinding yang tipis sekali dengan GILA!"

Demikianlah perenungan Hamka tentang seniman. 

Kata-kata bagi seorang seniman bukan pujian semata. Ia adalah gambaran batin. Tentang betapa dalam dan sunyinya dunia seorang seniman. Kadang dekat dengan kegilaan. Karena dinding antara imajinasi dan realita sangat tipis. Begitu tipisnya hingga kadang hilang arah.

Apa itu seni?

Seni adalah jendela. Jendela ke dalam diri. Juga ke luar, ke dunia.

Ia bukan sekadar ornamen. Bukan sekadar lukisan di ruang tamu. Seni adalah cara manusia bertahan. Dalam sunyi. Dalam luka. Dalam tanya yang tak kunjung selesai.

Tanpa seni, hidup terasa gersang. Indah, mungkin. Tapi tidak bermakna. Mewah, bisa jadi. Tapi tidak menggugah.

Seniman bukan sekadar mereka yang bisa melukis atau menari. Bukan semua penyanyi adalah seniman. Bukan semua orang yang menulis puisi adalah penyair.

Seniman adalah mereka yang rela larut dalam proses. Yang tekun merenungi, menggali, menggubah. Yang bersedia jadi lilin—terbakar, agar orang lain terang. Yang tak gentar ditertawakan karena pandangannya beda.

Seniman adalah mereka yang, dalam sunyi kamar kecil, bertemu ilham. Dan dalam gelap malam, menemukan terang.

Seniman adalah penafsir zaman. Ia menangkap keresahan. Menerjemahkan rasa yang tak bisa dikatakan. Menjadi simbol, suara, nada, atau gambar.

Ia pemberontak. Tapi bukan dengan senjata. Ia melawan dengan ironi, dengan puisi, dengan satire, dengan pementasan.

Ia pencinta. Tapi bukan untuk satu orang. Ia mencintai kehidupan. Dan menegaskan cinta itu dalam warna dan kata.

Di masyarakat, seniman sering dianggap “aneh”. Kadang dijauhi. Kadang dihormati saat tua. Kadang diundang ke panggung setelah wafat.

Namun, seniman sejati tak peduli pujian. Ia berkarya karena jiwanya butuh bernapas. Ia mencipta karena diam itu menyiksa.

Ia bukan menanti popularitas. Ia menanti momen ketika karya kecilnya mampu menyentuh jiwa seseorang yang bahkan tak ia kenal.

Seni menyembuhkan. Anak-anak “nakal” bisa berubah lewat seni. Karena seni tidak menghakimi. Seni mendengarkan, menampung, dan mengubah.

Melukis mengajar sabar. Menari mengajar percaya diri. Bermain teater mengajar kerja sama dan penguasaan emosi. Sastra mengajar empati dan renungan.

Seni itu jujur. Dan dalam kejujuran itu, banyak yang sembuh.

Di era digital, seniman mendapat peluang baru. Tak perlu menunggu penerbit. Tak perlu melamar ke galeri. Unggah saja. Kirim ke dunia. Internet menjadi penghubung.

Tapi dunia digital bukan surga otomatis. Ia juga penuh persaingan. Butuh ketekunan. Butuh keberanian menunjukkan diri.

Yang membedakan: Suaramu. Gaya khasmu. Luka yang hanya kau yang tahu. Dan cara kau menyembuhkannya lewat karya.

AI—akal imitasi—makin canggih. Mampu menulis. Melukis. Bernyanyi. Tapi AI tak punya luka. Tak punya rindu. Tak punya cerita kehilangan ayah di pagi buta. Tak pernah jatuh cinta dan patah hati di sore hari. Tak pernah ditampar dunia dan harus tetap tersenyum di pentas.

AI meniru. Manusia mengalami peristiwa. Segala peristiwa itu tak bisa dirasakan AI.

Di situlah seniman manusia tetap unggul. Ia mencipta bukan hanya untuk dilihat. Tapi untuk dirasakan.

Maka, peran seniman hari ini bukan lagi sekadar penghibur. Ia adalah penyampai makna. Ia adalah penjaga nurani. Ia adalah suara dari ruang yang tak terdengar.

Ketika dunia makin dingin, seniman adalah penghangat. Ketika dunia makin cepat, seniman adalah penunda yang membuat kita berpikir.

Ketika dunia makin palsu, seniman adalah cermin kebenaran. Kadang retak. Tapi jujur.

Akhirnya, menjadi seniman bukan soal bakat semata. Tapi keberanian. Keberanian menyelam ke dalam diri sendiri. Menemukan luka, lalu mengubahnya jadi cahaya.

Seniman adalah manusia biasa yang memilih jalan yang tidak biasa. Yang bersedia gelisah agar dunia lebih damai. Yang bersedia dicibir agar manusia lebih indah.

Karena seperti kata Hamka, seniman bukan malaikat, bukan Tuhan, bukan setan—ia manusia. Tapi dengan kepekaan yang membuatnya menjadi cahaya bagi banyak jiwa yang sedang gelap.

Seni, pada akhirnya, adalah doa paling sunyi yang ditulis dengan air mata paling jujur. Ia tak selalu bersuara, tapi selalu didengar oleh hati yang terbuka. Ketika seniman berhenti berkarya, kita bukan hanya kehilangan hiburan. Kita kehilangan penjaga kemanusiaan, kehilangan penerjemah rasa, kehilangan lentera yang menuntun kita melewati gelap.

Maka, selama dunia masih dipenuhi luka, selama manusia masih bertanya tentang makna, selama hati masih mampu bergetar oleh keindahan—seniman akan tetap dibutuhkan. Sebab, dalam setiap karya yang ia lahirkan, seniman menitipkan sesuatu yang lebih dari sekadar bentuk: ia menitipkan jiwa.

Dan, selama ada jiwa yang masih ingin sembuh, selama itu pula seniman akan tetap bernyala. Diam-diam. Setia. Menghidupkan dunia. []

Baca juga di https://majalahelipsis.id/seniman/

Post a Comment

Previous Post Next Post