JMNpost.com | Jakarta, – Isu dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mencuat ke permukaan, kali ini dibarengi langkah serius dari pihak penuduh. Rabu (21/5/2025), kubu Roy Suryo Cs resmi melaporkan Jokowi ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Mereka menuduh Presiden melakukan kriminalisasi terhadap warga negara yang menyuarakan kritik, terutama terkait dugaan pemalsuan ijazah yang terus jadi bola panas di ruang publik.
Laporan ke Komnas HAM itu dilayangkan oleh lima tokoh vokal: Roy Suryo,
Rismon Sianipar, Tifauzia Tyassuma alias Dokter Tifa, Rizal Fadillah, dan
Kurnia. Mereka tergabung dalam kelompok yang menamakan diri Tim Advokasi Anti
Kriminalisasi Akademisi dan Aktivis. Laporan ini, menurut mereka, adalah bentuk
perlawanan terhadap tindakan hukum yang mereka nilai manipulatif dan
diskriminatif.
"Ini bukan sekadar perbedaan pendapat. Ini bentuk kriminalisasi terhadap
rakyat yang hanya menjalankan hak konstitusionalnya. Presiden Joko Widodo bukan
cuma membungkam kritik, tapi juga menyalahgunakan kewenangan hukum," tegas
Ahmad Khozinudin, Koordinator Non-Litigasi tim tersebut, di depan kantor Komnas
HAM, Jakarta.
Menurut Ahmad, pelaporan terhadap Roy Suryo Cs oleh Presiden Jokowi ke Polda
Metro Jaya merupakan bentuk pembalasan terhadap sikap kritis yang mereka
sampaikan. Padahal, kata dia, mereka hanya mengajukan pertanyaan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan temuan yang dianggap patut untuk ditelusuri. Bukannya
ditanggapi secara rasional, mereka justru dijadikan tersangka dengan tuduhan
mencemarkan nama baik menggunakan Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE).
"Kami sampaikan bahwa pasal-pasal yang digunakan dalam laporan Presiden itu
tidak relevan, bahkan cenderung dipaksakan. Tidak ada satu pun kalimat yang
melanggar UU ITE. Ini hanya kritik, dan seharusnya dijawab dengan data, bukan
dengan pelaporan pidana," ujarnya.
Ahmad juga menyoroti ketimpangan perlakuan hukum antara pihaknya dan
Presiden. Laporan yang diajukan Roy Suryo Cs ke Bareskrim terkait dugaan ijazah
palsu disebutnya mandek selama enam bulan. Sebaliknya, laporan dari Presiden
Jokowi di Polda Metro Jaya langsung diproses dalam hitungan hari.
"Laporan kami ke Bareskrim baru diproses setelah enam bulan lebih. Tapi
laporan dari Presiden tanggal 30 April sudah diproses secara kilat. Ini bukti
diskriminasi di depan hukum. Padahal konstitusi menjamin persamaan hak hukum
bagi setiap warga negara," kata Ahmad dengan nada meninggi.
Pihaknya menilai, proses hukum yang tidak adil ini mencerminkan kemunduran demokrasi. Ketika kritik terhadap penguasa dianggap pelanggaran hukum, maka hukum telah berubah fungsi dari alat keadilan menjadi alat kekuasaan.
"Keadilan
itu bukan milik penguasa. Kalau Presiden boleh merasa dihina, rakyat juga
berhak mendapatkan keadilan saat pertanyaannya dibungkam paksa," imbuhnya.
Soal ijazah Jokowi, menurut Ahmad, bukanlah murni urusan politik. Ia
mengklaim bahwa kliennya hanya melanjutkan proses intelektual yang sah:
mengajukan pertanyaan, membandingkan dokumen, dan meminta klarifikasi. Bahkan,
menurutnya, pertanyaan tentang keaslian ijazah Presiden adalah pertanyaan yang
juga hidup di benak rakyat.
"Kami hanya mengajukan pertanyaan, berdasarkan metode ilmiah. Apakah
Presiden Joko Widodo benar lulusan UGM? Apakah ijazah yang selama ini beredar
otentik? Ini pertanyaan publik. Tapi sayangnya, jawaban negara adalah
pelaporan,” katanya.
Roy Suryo, mantan Menteri dan akademisi yang dikenal dengan keahlian
analisis forensik digital, juga menegaskan hal serupa. Ia merasa dirinya
menjadi korban UU yang justru pernah dia rancang.
"Sebagai salah satu perancang UU ITE, saya tahu persis semangat
undang-undang ini. Tapi kini semangat itu dihancurkan. UU ITE digunakan untuk
menjerat masyarakat biasa, dengan logika yang dipaksakan. Ini abuse of power," ujar Roy.
Kubu Roy Suryo melihat bahwa persoalan ini bukan hanya soal hukum atau
ijazah. Mereka menyebut ini sebagai ujian bagi akal sehat bangsa. Ketika
seorang Presiden tidak bisa ditanya tentang dokumen pendidikannya sendiri tanpa
ancaman pidana, maka demokrasi telah kehilangan ruhnya.
"Kalau pertanyaan bisa dipenjara, maka demokrasi sudah mati. Bangsa ini
kehilangan akal sehat. Presiden bukan raja, dan rakyat bukan budak. Setiap
orang berhak tahu siapa yang memimpin mereka," tutup Ahmad.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak Istana
terkait laporan ke Komnas HAM ini. Publik kini menunggu, bukan hanya
klarifikasi ijazah, tapi juga sikap negara dalam menjawab kritik: dengan
argumen, atau kembali dengan jerat pidana.
Post a Comment