Peta HGU Palsu? Negara dan BUMN Main Tanah

Gambar Ilustrasi diambil dari clarku.edu

JMNpost.com | Aceh Timur, - Selama lebih dari satu dekade, dua perusahaan perkebunan raksasa milik negara, PTPN I dan PTPN III Karang Inong, diduga mengelola ribuan hektare lahan di luar wilayah Hak Guna Usaha (HGU) yang telah ditetapkan secara hukum. Fakta ini muncul dari laporan warga, dibenarkan oleh pejabat pemerintah, namun hingga kini belum ada tindakan tegas. Negara tahu, tapi bungkam. Sementara itu, rakyat kehilangan hak atas tanah yang menjadi sumber hidup mereka.

Laporan Warga: "Tanah Kami Dikuasai Diam-diam"

Awal tahun 2025, suara protes kembali menguat dari Dusun Sumedang Jaya, Gampong Seumanah Jaya, Kecamatan Ranto Peureulak. Mawardi, tokoh masyarakat setempat, menyebut PTPN I dan III telah bertahun-tahun mengelola lahan yang tidak termasuk dalam peta HGU resmi.

“Kami mendesak Bupati Aceh Timur, Iskandar Usman Alfarlaky, segera perintahkan pengukuran ulang. Kalau ini dibiarkan, tanah kami bisa habis diam-diam,” ujarnya, Selasa (23/5/2025).


Kawasan yang dimaksud tersebar di sepanjang jalan lintas Ranto Peureulak–Peunaron dan sejumlah titik di luar batas resmi area HGU. Selain Sumedang Jaya, laporan juga datang dari Seuneubok Bayu, Kecamatan Indra Makmu. Warga setempat menyebut, mereka sudah tidak bisa lagi mengakses lahan warisan keluarga karena telah dikuasai oleh korporasi Negara.

Pengakuan Diam-Diam dan Mediasi Setengah Hati

Laporan warga itu rupanya bukan isapan jempol. Kepala Dinas Pertanahan Kabupaten Aceh Timur, Mukhtardin, S.Sos., M.AP, menyatakan bahwa sebagian lahan yang dikelola oleh PTPN I dan III memang tidak tercatat dalam peta HGU. Ia menyinggung langsung kasus Muhaddis di Rantoe Peureulak yang mengklaim lahannya diserobot perusahaan.

“Kasus itu sudah dimediasi tanggal 8 Mei 2025, dihadiri pihak perusahaan, warga, dan pemerintah. Bahkan dipimpin langsung oleh Wakil Bupati,” ujar Mukhtardin. Ia mengakui telah mengusulkan pembentukan tim pencari fakta resmi melalui SK, namun belum ada tindak lanjut dari pimpinan daerah. “Mungkin ada miskomunikasi,” katanya.

Lebih mencengangkan lagi, menurut Mukhtardin, PTPN sempat menyatakan bersedia membayar kepada keluarga Muhaddis.

“Kalau mereka mau bayar, itu artinya mereka tahu tanah itu bukan milik mereka, kan?” ujarnya, retoris.

BPN Lempar Tanggung Jawab

Kepala BPN Aceh Timur ketika dimintai konfirmasi juga tak memberikan kepastian hukum. Ia menyebut penyelesaian harus melalui musyawarah antara perusahaan dan pemerintah daerah.

“Saya pribadi tidak bisa ambil sikap,” ujarnya. Sebuah pernyataan yang menandakan absennya keberanian institusi negara untuk bertindak.

13 Tahun Pembiaran: Kelumpuhan Sistemik?

Catatan ini mengarah pada satu kesimpulan pahit: pelanggaran ini sudah berlangsung sejak era Roky. Artinya, lebih dari 13 tahun. Namun hingga hari ini, tidak ada proses hukum, tidak ada audit, tidak ada evaluasi izin. Negara tampak kehilangan gigi saat berhadapan dengan perusahaan negara sendiri.

Fakta-fakta tersebut membuka pertanyaan lebih besar: siapa yang sebenarnya dilindungi oleh negara, korporasi pelat merah atau rakyat kecil yang tanahnya dirampas?

Dampak: Bukan Sekadar Sengketa, Tapi Soal Hidup

Penguasaan ilegal ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ia berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat lokal. Tanah yang mestinya menjadi ruang hidup, sumber pangan, dan warisan keluarga, kini berubah jadi kebun sawit milik negara. Pendapatan daerah pun berpotensi bocor akibat manipulasi batas HGU.

“Kalau ini terus dibiarkan, bukan mustahil konflik agraria meledak,” ujar seorang akademisi dari Universitas Samudra yang enggan disebut namanya. Ia menilai kasus ini sebagai cerminan dari kegagalan negara melindungi hak konstitusional warganya atas tanah.

Jalan Keluar: Audit, Fakta, dan Keberanian

Dinas Pertanahan Aceh Timur sudah mengusulkan pembentukan tim pencari fakta. Tapi tanpa SK dari Bupati atau Gubernur, semua itu hanya jadi dokumen mati. Audit menyeluruh terhadap seluruh HGU PTPN I dan III menjadi langkah paling logis dan mendesak.

Berita ini bukan yang pertama mengungkap dugaan pelanggaran HGU di Aceh Timur, tapi selama aparat dan elite politik tetap nyaman dalam diam, maka praktik perampasan tanah akan terus berlangsung di balik kebun-kebun sawit yang hijau di permukaan, namun berdarah di akar.

Sampai berita ini diterbitkan, pihak PTPN belum memberikan respons atas permintaan konfirmasi yang disampaikan.

Post a Comment

Previous Post Next Post