JMNpost.com | Aceh Timur, - Indikasi pelanggaran serius terkait tata kelola lahan oleh dua badan usaha milik negara (BUMN), yakni PTPN I dan PTPN III Karang Inong, mencuat ke permukaan dan memantik kegelisahan masyarakat. Dugaan ini mengarah pada penguasaan lahan di luar batas Hak Guna Usaha (HGU) yang telah ditetapkan secara hukum, yang jika terbukti benar, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administratif dan agraria berskala besar.
Informasi ini berasal dari laporan masyarakat di Dusun Sumedang Jaya, Gampong Seumanah Jaya, Kecamatan Ranto Peureulak, yang mengklaim bahwa PTPN I dan III telah mengelola lahan di sejumlah titik yang tidak termasuk dalam peta HGU resmi. Kawasan yang diduga terdampak antara lain berada di sepanjang jalan lintas Ranto Peureulak–Peunaron, serta beberapa titik lain di wilayah pinggiran area HGU aktif.
“Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, dalam hal ini Bupati Iskandar Usman Alfarlaky, kami harapkan dapat segera menginstruksikan pengukuran ulang kawasan HGU milik PTPN I dan III. Jika benar ada lahan di luar HGU yang telah dikuasai secara sepihak, maka hal ini berpotensi merugikan pendapatan daerah dan melanggar prinsip-prinsip keadilan agraria,” ujar Mawardi, perwakilan masyarakat setempat, Selasa (20/5/2025).
Lebih lanjut, seorang warga yang enggan disebutkan identitasnya mengungkapkan bahwa praktik semacam ini telah berlangsung selama bertahun-tahun tanpa pengawasan yang memadai dari instansi terkait. Menurutnya, pengelolaan lahan di luar izin HGU dapat berdampak langsung terhadap hak-hak masyarakat lokal, serta menimbulkan distorsi dalam struktur kepemilikan tanah.
“Ekspansi semacam ini tidak hanya melanggar batas administratif, tetapi juga menimbulkan kerentanan sosial dan ekonomi di tingkat lokal. Warga kehilangan akses terhadap tanah yang semestinya menjadi bagian dari ruang hidup mereka,” ungkapnya.
Hingga berita ini ditayangkan, pihak manajemen maupun Humas dari PTPN I dan PTPN III Karang Inong belum memberikan tanggapan resmi. Upaya konfirmasi telah dilakukan oleh tim redaksi melalui kanal komunikasi yang tersedia, namun tidak memperoleh respons.
Situasi ini menimbulkan urgensi bagi pemerintah daerah untuk segera mengambil langkah-langkah korektif. Pemeriksaan ulang terhadap dokumen HGU, audit independen terhadap kepemilikan dan penguasaan lahan, serta keterlibatan lembaga pertanahan secara aktif menjadi langkah yang tidak dapat ditawar lagi.
Dalam konteks hukum agraria dan tata kelola lahan, pelanggaran terhadap batas HGU merupakan isu yang sangat serius. Tidak hanya berdampak pada aspek legalitas pemanfaatan tanah, tetapi juga berimplikasi terhadap penerimaan pajak daerah, konflik agraria, dan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Post a Comment