Oleh: Mahdi
Wartawan adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Bukan karena mereka tak dihargai, tetapi karena mereka terbiasa berjuang dalam keheningan. Mereka ada di barisan depan saat bencana melanda, menjadi saksi bisu saat ketidakadilan terjadi, dan memastikan suara-suara kecil yang sering diabaikan tetap terdengar. Namun, ironisnya, mereka yang membantu banyak orang justru sering terabaikan.
Di Aceh, kondisi ini bukan hanya dialami satu atau dua orang. Hampir 90 persen wartawan di sini hidup dalam perjuangan yang sama. Mereka meliput tentang rumah tidak layak huni, padahal rumah mereka sendiri lebih reyot. Dinding kayu yang lapuk, atap bocor, lantai tanah yang berubah jadi lumpur saat hujan. Tapi mereka tetap menulis, berharap ada yang peduli pada orang yang mereka bantu.
Seorang wartawan tahu bagaimana rasanya menerima telepon panik dari orang yang membutuhkan bantuan. "Tolong bang, bantu tulis tentang masalah saya!" atau "Minta tolong bang, biar berita ini tersebar dan ada yang bantu." Wartawan adalah jembatan harapan bagi banyak orang. Tapi saat mereka sendiri membutuhkan, siapa yang peduli?
Lebih ironis lagi, untuk meliput kisah orang miskin, mereka harus keluar uang sendiri. Bensin motor tua yang hampir mogok, kamera pinjaman, dan uang makan yang sering tak ada. Saat selesai menulis, mereka hanya berharap ada keajaiban. Bukan untuk mereka, tapi untuk orang yang mereka bantu. Karena bagi mereka, membantu orang lain adalah satu-satunya cara melupakan kesusahan sendiri.
Namun siapa yang akan menulis tentang wartawan? Siapa yang akan membantu mereka? Wartawan tidak mungkin menulis tentang keluh kesahnya sendiri. "Wartawan kok ngeluh? Bukannya kalian harusnya kuat?" Kalimat ini sering mereka dengar, seolah menjadi wartawan adalah memiliki kekuatan super untuk menanggung semua beban tanpa sedikit pun keluhan.
Fenomena ini adalah ironi yang sudah berlangsung lama. Wartawan adalah penyalur suara, tapi suara mereka sendiri seringkali tenggelam. Mereka adalah pemberi harapan, tapi harapan mereka sendiri kerap pupus. Mereka membela banyak orang, tapi siapa yang akan membela mereka?
Masalahnya bukan hanya soal materi atau penghargaan, tetapi soal empati. Seberapa sering kita mengingat mereka yang berjuang di balik layar? Seberapa sering kita peduli pada kesejahteraan mereka yang selalu peduli pada orang lain?
Harapan kita, pemerintah dan semua pihak belajar cara memanusiakan manusia. Wartawan bukan hanya alat untuk mempublikasikan acara seremonial, bukan sekadar orang yang dipanggil saat ada kegiatan penting. Mereka bukan hanya tamu yang disuguhi kopi sebagai ucapan terima kasih. Mereka adalah pilar informasi, suara yang membawa kebenaran ke tengah masyarakat.
Mungkin sudah saatnya kita mengubah cara pandang. Saat bertemu wartawan yang tulus membantu, jangan hanya memanfaatkannya sebagai sarana publikasi. Jadilah bagian dari lingkaran yang juga membantu mereka. Hargai waktu dan usaha mereka, dengarkan suara mereka, dan jika mampu, bantulah mereka. Karena pada akhirnya, kebaikan harusnya berjalan dua arah.
Wartawan bukan malaikat. Mereka adalah manusia yang juga butuh bantuan, pengakuan, dan rasa terima kasih. Dan jika kita terus membiarkan mereka menjadi pahlawan yang terlupakan, jangan heran jika suatu hari nanti, tak ada lagi yang peduli pada suara-suara kecil di masyarakat. Karena mereka yang menjadi suara itu sudah memilih diam.
Post a Comment