Ijazah Palsu atau Kepalsuan DPR? Kasmudjo Berani, Mereka Takut

Foto by www.kedaipena.com

JMNpost.com | Ketika kebohongan menjadi komoditas politik, kejujuran berubah menjadi barang langka. Itulah yang terjadi dalam kasus dugaan ijazah palsu mantan Presiden ke-7, yang kembali mencuat bak api dalam sekam. Pernyataan Direktur Eksekutif KP3-I, Tom Pasaribu, seharusnya menjadi tamparan keras bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tapi sayangnya, telinga DPR seringkali lebih tebal dari tembok istana.

Mari kita bedah faktanya. Pada 19 Desember 2017, Presiden Joko Widodo dalam sebuah acara di Universitas Gadjah Mada (UGM) memperkenalkan seorang dosen bernama Kasmudjo sebagai dosen pembimbing skripsinya. Dunia menyaksikan, rakyat mencatat. Namun, waktu memiliki cara kejamnya sendiri untuk mengungkap kebenaran. Pada 14 Mei 2025, Kasmudjo, dengan keberanian yang jarang ditemui di negeri ini, membantah klaim tersebut. Ia tegas mengatakan bahwa dirinya tidak pernah menjadi dosen pembimbing skripsi Joko Widodo.

Lalu, muncul pertanyaan mendasar: jika Kasmudjo bukan dosen pembimbing, siapa yang berbohong? Presiden yang mengklaim atau Kasmudjo yang menyangkal? Atau mungkin ada permainan lebih besar di balik layar yang dirancang untuk melindungi seseorang dari aib akademik?

Pernyataan Kasmudjo yang viral bukan sekadar sebuah pengakuan pribadi, melainkan pukulan telak bagi kredibilitas UGM dan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia. Apalagi, Sigit, Dekan UGM, justru tampil dengan pernyataan bahwa Kasmudjo hanyalah dosen pembimbing akademik, seakan-akan ingin mengalihkan substansi masalah. Ini adalah klasik: alihkan perhatian dari fakta ke opini.

Namun, esensi masalahnya jelas. Ada tuduhan bahwa seorang mantan Presiden memalsukan ijazah. Ini bukan sekadar skandal pribadi, tetapi sebuah tamparan bagi ribuan mahasiswa yang berjuang mati-matian mendapatkan gelar akademik mereka dengan keringat dan air mata. Dan DPR? Mereka diam seribu bahasa, seakan tak mengerti betapa seriusnya kasus ini.

Jika dugaan ini benar, apa artinya bagi bangsa? Bagaimana dengan kepercayaan internasional terhadap gelar akademik dari Indonesia, khususnya UGM? Dan lebih penting lagi, bagaimana dengan nasib jutaan mahasiswa yang berjuang dengan jujur untuk masa depan mereka?

DPR harus sadar, mereka adalah wakil rakyat. Mereka bukan penonton bisu dari panggung drama politik. Sudah saatnya mereka bersuara lantang, bukan untuk melindungi oknum, tetapi untuk menegakkan kebenaran. Desakan agar Polri segera memeriksa eks Presiden ke-7 dan Dekan UGM, Sigit, adalah langkah minimal yang harus dilakukan. Tanpa keberanian, DPR hanya akan menjadi simbol kekuasaan tanpa makna.

Karena kebenaran, meskipun tertunda, tidak akan pernah benar-benar terkubur. Dan bangsa yang terus memelihara kebohongan adalah bangsa yang berjalan menuju kehancuran moralnya sendiri.


Sumber: www.kedaipena.com

Post a Comment

Previous Post Next Post