Perempuan Tangguh di Balik Kemudi: Kisah Sopir Ambulans dengan Mobil Agya di Aceh Timur |
JMNpost.com | Siang itu matahari terik membakar Aceh Timur. Debu jalanan berterbangan setiap kali angin bertiup. Di tengah panas yang menyengat, sebuah mobil kecil berwarna hitam melaju perlahan, terguncang setiap kali melewati lubang dan genangan. Mobil itu bukan ambulans seperti biasanya. Hanya sebuah Toyota Agya tua, tanpa sirine, tanpa perlengkapan medis. Tapi di balik kemudinya, ada Santi Salwati, seorang perempuan paruh baya dengan tekad baja.
Santi, atau yang biasa dipanggil Santi, bukan sopir ambulans resmi. Mobilnya bukan kendaraan darurat, bahkan tidak dimodifikasi untuk itu. Namun baginya, mobil tua itu adalah satu-satunya harapan bagi banyak orang. "Selama masih bisa jalan, mobil ini adalah ambulans bagi mereka yang butuh pertolongan," ucapnya dengan suara bergetar.
Siang itu, ia menerima panggilan untuk menjemput seorang pasien di ujung Kecamatan Nurussalam, tepatnya di Gampong Mesjid. Jalan menuju sana bukanlah jalan yang ramah bagi mobil kecil sepertinya. Debu tebal dan batuan tajam menjadi rintangan, namun Santi tak peduli. Ia tahu, di ujung jalan itu, ada nyawa yang menunggu.
Santi menggenggam erat setir, sesekali bergumam doa. Di sepanjang perjalanan, mobilnya beberapa kali tersendat oleh jalanan yang berbatu. Ia menggigit bibir, menahan khawatir. Setiap kali ban mobilnya tergelincir, hatinya berdebar. Namun ia tak pernah berpikir untuk menyerah. Bagi Santi, setiap perjalanan adalah pertaruhan, setiap panggilan adalah ujian kemanusiaan.
"Setiap menit itu berarti. Saya selalu berpikir, bagaimana jika itu keluarga saya? Bagaimana jika mereka menunggu ambulans yang tak kunjung datang?" katanya dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu bahwa bukan hanya mesin mobilnya yang diuji, tetapi juga hatinya. Setiap pasien yang ia jemput bukan sekadar orang asing, melainkan jiwa yang berharap.
Saat akhirnya tiba di Gampong Mesjid, keluarga pasien menyambutnya dengan haru. Santi membantu mengangkat pasien, menyelimuti tubuh pasien yang lemah dengan jaket tipisnya. Mobil Agya tua itu kembali bergerak, kini dengan lebih hati-hati. Pasien di jok belakang hanya bisa meringis menahan sakit, sementara Santi berjuang menembus jalanan yang berdebu.
Perjalanan kembali ke pusat kesehatan bukan tanpa hambatan. Di beberapa titik, jalanan berlubang dan batu tajam mengancam ban mobilnya. Namun Santi tak menyerah. Ia terus memegang setir dengan kedua tangan, sesekali melirik ke arah pasien yang terbaring lemah. "Tahan sedikit lagi, kita hampir sampai," gumamnya, seolah menenangkan pasien dan dirinya sendiri.
"Saya tidak punya sirine, tidak ada lampu rotator. Hanya klakson dan doa yang saya punya. Tapi bagi saya, ini cukup. Selama saya bisa membantu, saya akan terus melakukannya," tegasnya. Kata-kata itu bukan sekadar janji, tapi prinsip hidup yang ia pegang teguh.
Santi tahu, mobilnya bisa saja rusak kapan saja. Setiap perjalanan adalah pertaruhan, bukan hanya bagi pasien, tapi juga baginya. Namun, ia tak pernah berpikir untuk berhenti. Bagi Santi, menjadi harapan bagi orang lain adalah alasan ia bertahan. Tak ada gaji besar, tak ada pujian, hanya rasa lega setiap kali pasien tiba dengan selamat.
Kini, Santi tetap mengemudi mobil tuanya. Tak ada penghargaan, tak ada sorotan. Hanya ucapan terima kasih dari mereka yang selamat berkat pertolongan sederhananya. Bagi dunia, Santi mungkin hanya seorang perempuan dengan mobil tua. Tapi bagi mereka yang pernah ia selamatkan, ia adalah malaikat tanpa sayap.
Melihat kegigihan Santi, banyak yang bertanya-tanya, sampai kapan mobil tuanya mampu bertahan? Di tengah keterbatasan, semangatnya tak pernah pudar. Mungkin suatu saat, tangan-tangan peduli akan menyentuhnya. Sebab di balik kemudi mobil hitam itu, ada seorang perempuan yang terus berjuang demi kemanusiaan.
Post a Comment