Ketika Negara Belajar dari Rakyat: Legalisasi yang Terlambat Tapi Tepat

OPINI
Oleh: Fahmi Muda (Kabid Humas Kippra Aceh Timur) 

Apa yang dilakukan oleh Bupati Aceh Timur, Iskandar Usman Al-Farlaky, bukan sekadar pernyataan politik. Ia sedang menegaskan satu hal penting: bahwa negara harus hadir dalam ruang-ruang yang selama ini dianggap "liar", tapi sebenarnya sangat rasional—sumur minyak rakyat.

Selama bertahun-tahun, negara absen di wilayah ini. Sumur minyak rakyat dibiarkan seperti anak haram dalam tata kelola energi nasional—eksis, tapi tak diakui; berjalan, tapi dianggap melanggar. Padahal, masyarakat bukan penjahat. Mereka hanya mengisi kekosongan. Kekosongan regulasi, kekosongan peran negara, kekosongan keadilan. Maka ketika Kementerian ESDM mulai menyusun regulasi legalisasi, dan Bupati Aceh Timur menyambutnya secara progresif, kita seharusnya tidak hanya mendukung, tetapi merenung: mengapa butuh waktu selama ini untuk mengakui kerja rakyat sendiri?

Bupati Al-Farlaky paham bahwa energi bukan hanya soal angka di dashboard kementerian. Energi adalah urusan hidup sehari-hari. Ia menyentuh dapur, menyentuh ongkos produksi, bahkan menyentuh harapan. Dan ketika pengelolaan energi diambil alih oleh rakyat secara swadaya—dengan risiko keselamatan, lingkungan, dan kriminalisasi—maka sebenarnya kita sedang melihat bentuk keputusasaan terhadap negara.

Maka, inisiatif untuk melegalkan ini bukan hanya langkah administratif. Ini adalah koreksi politik. Negara sedang memperbaiki kelalaiannya terhadap rakyat kecil. Dan Aceh Timur menjadi lokus strategis koreksi itu.

Skema yang ditawarkan—melalui kemitraan antara sumur rakyat dengan BUMD atau koperasi—adalah jembatan yang masuk akal. PT Aceh Timur Energi (ATEM), sebagai BUMD milik daerah, akan berperan sebagai fasilitator legalitas. Ini penting. Sebab legalitas bukan sekadar stempel. Ia harus hadir bersama kapasitas: bimbingan teknis, pengawasan operasional, dan transfer pengetahuan.

Bupati Al-Farlaky menyebut bahwa peran ATEM harus maksimal. Saya setuju. Tapi saya tambahkan: ATEM harus menjadi "agen pencerahan energi." Ia harus memutus ketergantungan rakyat terhadap logika informal dan menggantikannya dengan logika profesional tanpa mencabut akar kerakyatan. Artinya, ATEM harus hadir bukan sebagai penguasa baru, tapi sebagai mitra sejati rakyat.

Koperasi juga tak boleh hanya menjadi pelengkap administratif. Ia harus diberdayakan secara substantif. Koperasi yang hanya ada di atas kertas akan melanggengkan ketimpangan yang dibungkus dengan legalitas. Maka di sini pentingnya kontrol publik: masyarakat sipil, media lokal, dan akademisi harus mengawal proses ini agar tidak berubah menjadi “legalisasi oligarki lokal”.

Kita juga tidak boleh lupa bahwa regulasi ini sedang disusun oleh Kementerian ESDM. Artinya, belum final. Belum menjadi norma hukum. Tapi yang sudah terjadi adalah satu hal penting: political will di tingkat daerah telah menyala. Dan ketika political will ini hadir di daerah seperti Aceh Timur—yang punya sejarah panjang relasi kuasa dengan pusat—maka ini bukan hanya soal minyak. Ini soal kedaulatan.

Kita tidak sedang bicara tentang sumur kecil di ujung desa. Kita sedang bicara tentang bagaimana negara memutuskan siapa yang berhak atas sumber daya. Dan hari ini, untuk pertama kalinya, suara rakyat Aceh Timur didengar dalam forum-forum resmi, tidak sebagai pihak yang diawasi, tapi sebagai mitra.

Saya mendukung penuh langkah Bupati Al-Farlaky. Bukan hanya karena ia sedang melakukan hal benar, tapi karena ia sedang membangun logika baru: logika energi berbasis keadilan. Ini penting di tengah narasi besar yang selama ini selalu mengutamakan korporasi dan menyingkirkan inisiatif rakyat.

Tentu, pekerjaan belum selesai. Tantangan masih panjang. Tapi kita sedang menyaksikan satu momen krusial: negara mulai menoleh ke bawah. Dan ketika negara mulai menyapa rakyat dengan cara yang adil, maka sesungguhnya kita sedang memasuki era baru era di mana energi tak lagi dimonopoli oleh modal, tapi dipandu oleh akal sehat.

Post a Comment

Previous Post Next Post