Opini : Fahmi | Pemerhati Politik Lokal
Dalam sistem demokrasi, suara rakyat adalah hukum tertinggi. Tapi di Kota Langsa, hukum itu sedang ditertawakan. Sudah lebih dari dua bulan sejak Mahkamah Konstitusi mengesahkan kemenangan Jeffry Sentana dan M. Haikal sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Langsa, namun pelantikan tak kunjung dilakukan. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Jawaban pendeknya: ada yang lebih mencintai jabatan daripada menghormati hasil pemilu.
Dalam negara yang sehat, pelantikan kepala daerah terpilih adalah rutinitas. Tapi di Langsa, ia berubah jadi sandiwara politik yang memalukan. Pemerintah Provinsi Aceh bungkam. Pj Wali Kota Langsa seolah-olah lupa bahwa kursi yang ia duduki itu bersifat sementara, bukan warisan turun-temurun. Sementara DPRK Langsa malah sibuk dengan drama internal yang sengaja dipelihara agar panggung ini tetap gelap.
Sederhananya, ada tiga skenario kepentingan yang sedang bermain di balik layar:
Pertama, hasrat mempertahankan kekuasaan dari sang Pj. Dengan belum dilantiknya wali kota definitif, kekuasaan tetap berada di tangan "sementara" yang kelamaan terasa permanen. Jabatan Pj yang seharusnya menjembatani, kini berubah jadi tembok penghalang.
Kedua, kekacauan DPRK Langsa dimanfaatkan sebagai alasan teknis. Tidak ada Alat Kelengkapan Dewan (AKD), katanya. Padahal, pelantikan bisa dilakukan tanpa harus menunggu AKD. Ini bukan soal administrasi, ini soal kemauan politik.
Ketiga, elit politik sedang berbisik. Aroma persekongkolan pekat terasa. Apakah ada "deal" di bawah meja untuk menunda pelantikan? Apakah ada aktor-aktor bayangan yang tak rela kekuasaan jatuh ke tangan yang sah? Rakyat hanya bisa menerka, karena transparansi bukan lagi nilai utama di panggung ini.
Jika ini bukan bentuk pembangkangan terhadap demokrasi, lalu apa namanya?
Langsa adalah satu-satunya kota di Aceh yang belum melantik kepala daerah hasil Pilkada 2024. Kota-kota lain sudah melangkah, Langsa tertahan di simpang kepentingan. Seolah-olah suara rakyat tak punya harga. Seolah-olah hasil pemilu bisa digantung seenaknya.
Saya menyatakan dengan tegas: ini bukan sekadar kelalaian. Ini adalah bentuk nyata dari ketidakpatuhan terhadap konstitusi. Ini adalah pengkhianatan terhadap amanah rakyat.
Mereka yang menunda pelantikan kepala daerah terpilih, sejatinya sedang mempermainkan demokrasi. Dan yang mempermainkan demokrasi, pada akhirnya sedang menggali kuburnya sendiri.
Jika kekuasaan lebih dicintai daripada kebenaran, maka kita sedang menyaksikan kematian akal sehat di ruang publik. Langsa, kota yang mestinya bersinar, kini justru jadi panggung ironi.
Dan rakyat, lagi-lagi, hanya jadi penonton.
Disclaimer:
Tulisan ini adalah opini pribadi dan tidak mewakili pandangan individu tertentu. Opini disusun berdasarkan informasi yang tersedia di ruang publik, termasuk pemberitaan media massa dan sumber resmi. Jika terdapat pihak yang keberatan atas isi tulisan ini, sesuai dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dipersilakan untuk menggunakan hak jawab atau klarifikasi yang akan kami muat secara proporsional.
Post a Comment