Saat Sungai Memuntahkan Kayu, Pemerintah Harus Berhenti Memuntahkan Izin HGU

Penulis: Rusydi, SHI
(KNPI Aceh Timur)

Banjir besar yang melumpuhkan Aceh sejak 25–30 November 2025 adalah peringatan paling keras dari alam bahwa ruang hidup kita telah dirusak secara brutal. Ribuan rumah ditelan lumpur kuning pekat, jaringan listrik padam, sinyal telekomunikasi hilang, sekolah ditutup, ekonomi terhenti, jalan nasional Medan–Banda Aceh putus dan harga barang meroket tak terkendali. Bencana ini bukan fenomena air meluap biasa, melainkan akumulasi kelalaian manusia yang mengubah hutan resapan menjadi lahan sawit yang digaruk begitu rakus dalam beberapa bulan terakhir. Sedimen lumpur yang terbawa banjir menjadi saksi bisu bahwa excavator lebih banyak bekerja daripada otak para pengambil kebijakan.

Di sepanjang Pesisir Timur Aceh, dari Aceh Tamiang hingga Pidie Jaya, terdapat pola yang sama dan mengerikan: hutan penyangga hilang, hutan lindung terkoyak, hutan produksi dicincang, dan kawasan resapan air musnah digantikan barisan sawit yang kering, rapuh, dan miskin daya tampung. Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa banjir kali ini adalah yang terparah. Dan semua petunjuk mengarah pada satu sumber: pembukaan lahan HGU baru dan revitalisasi kebun sawit skala besar yang dibiarkan meluas tanpa rem.

Dan ada satu bukti lain yang lebih telanjang dari semua analisis itu. Muara sungai hari ini memuntahkan gelondongan kayu ke laut lepas. Alam seperti membuka barang bukti di depan mata kita, tanpa suara, tanpa debat. Kadang kenyataan paling keras justru yang tak diucapkan. Kayu-kayu itu adalah sisa dari hutan yang hilang, bukti dari penebangan yang dilegalkan, dan cermin dari keputusan-keputusan yang selama ini dibungkus bahasa pembangunan.

Masalah utamanya selalu kembali pada hal yang paling sederhana: siapa yang memberikan izin HGU? Pemerintah. Siapa yang memperpanjang izin? Pemerintah. Dan siapa yang seharusnya menjaga hutan lindung agar tidak dibabat? Tetap pemerintah. Tapi ironisnya, pihak yang semestinya menjadi pelindung justru menjadi pihak yang paling sering melenggang ringan saat hutan dijadikan komoditas. Banyak bupati di Aceh masih memandang hutan seperti lembaran administrasi biasa yang bisa diteken tanpa rasa bersalah. Tanda tangan menjadi alat membuka pintu kehancuran ekologis, sementara analisis dampak lingkungan hidup hanya jadi formalitas yang menggugurkan kewajiban.

Karena itu, Gubernur Aceh dan seluruh bupati/wali kota tidak bisa lagi berlindung di balik alasan teknis perizinan. Merekalah aktor utama yang memegang kunci penyelamatan hutan atau justru penghancurnya. Setiap izin HGU baru, setiap rekomendasi pembukaan lahan, setiap persetujuan revitalisasi kebun sawit adalah keputusan politik yang akan menentukan apakah rakyat pesisir akan hidup aman atau terus tenggelam setiap tahun. Tidak ada lagi ruang bagi kepala daerah yang hanya sibuk mengejar PAD dari sektor perkebunan sawit sembari memejamkan mata terhadap kerusakan ekologis yang pasti mengikuti.

Banjir ini memperlihatkan satu kenyataan pahit: solidaritas masyarakat jauh lebih cepat daripada respons pemerintah. Ketika air naik setinggi dada, masyarakat mengevakuasi anak-anak dan lansia dengan peralatan seadanya. Perahu karet tidak datang, posko tidak siap, bantuan masa panik tersendat, dan warga harus menyelamatkan dirinya sendiri. Bahkan di Kota Langsa, dua minimarket dijarah oleh masyarakat yang panik karena tidak ada makanan, air bersih, atau akses menuju bantuan. Ini bukan sekadar tindakan kriminal; ini adalah tanda kegagalan pemerintah daerah hadir saat rakyat paling membutuhkan. Pemerintah yang selama ini rajin menandatangani izin perkebunan tiba-tiba hilang arah ketika dampak izin itu datang menyapu rumah warga.

Dalam situasi seperti ini, perusahaan sawit tidak bisa terus bersembunyi di balik alasan “izin sudah diberikan pemerintah”. Mereka adalah pelaku utama yang membuka hutan, menggaruk tanah, meruntuhkan zona penyangga air, dan mengalirkan risiko ke rumah-rumah penduduk. Maka sudah sepatutnya setiap PT perkebunan sawit diwajibkan menyediakan kendaraan evakuasi, membangun posko darurat, membantu kebutuhan masa panik, dan turun langsung dalam setiap penanganan banjir tahunan. Jika berani membuka hutan, mereka juga harus berani menolong masyarakat yang menanggung akibatnya.

Aceh membutuhkan keberanian regulasi baru. Perlu segera disusun sebuah qanun khusus penanganan banjir yang menempatkan industri sawit sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab secara struktural, bukan sekadar simbolis. Qanun yang memperketat seluruh proses perizinan, mewajibkan keterlibatan perusahaan dalam mitigasi bencana, serta memberikan sanksi tegas bagi perkebunan yang membabat hutan secara serampangan. Banjir di Aceh bukan lagi rutinitas musiman; ini adalah akibat langsung dari keputusan politik dan ekonomi yang dibangun di atas pengorbanan hutan.

Di atas semua itu, Aceh membutuhkan pemimpin yang tidak hanya pandai tersenyum saat meresmikan proyek, tetapi memiliki nyali untuk menghentikan perusakan hutan meski harus berhadapan dengan kepentingan para pengusaha. Pemimpin yang berani menolak izin HGU baru ketika kawasan resapan sudah kritis. Pemimpin yang mampu mengatakan “cukup” pada pembabatan hutan, meski itu berarti kehilangan pemasukan jangka pendek. Karena tanpa keberanian itu, banjir hari ini hanyalah prolog. Generasi mendatang akan mewarisi tanah yang semakin gundul, air yang semakin ganas, dan pemerintahan yang semakin tak mampu mengatasi bencana yang mereka ciptakan sendiri.

Hutan Aceh sedang menipis, banjir semakin tinggi, lumpur semakin pekat, dan rakyat semakin lelah. Jika pemerintah masih berpura-pura tidak melihat akar masalahnya, maka yang tenggelam bukan hanya rumah-rumah masyarakat, tetapi juga kewarasan kebijakan publik kita. Aceh butuh perubahan, dan perubahan itu tidak bisa ditunda lagi.

Post a Comment

Previous Post Next Post