JMNpost.com | Hujan belum berhenti sejak pagi ketika ratusan warga Seuneubok Bayu berjalan perlahan menuju ladang luas yang telah mereka garap sejak 1998. Tanah yang mereka buka dengan keringat sendiri itu kini kembali dipersoalkan, kembali diperebutkan, kembali menjadi sumber keresahan yang menahun. Tapi hari itu, Minggu 16 November 2025, mereka tidak berkumpul untuk bertengkar atau menyuarakan amarah. Hari itu mereka menggelar Maulidurrasul 1447 Hijriah dengan hati yang terusik oleh masalah, namun tetap dengan rasa syukur yang sulit dijelaskan.
Di tengah ladang basah itu berdiri sebuah tenda tua yang didirikan dari kayu-kayu kurus dan terpal lusuh. Di banyak titik, terpal itu bocor, meneteskan air hujan seperti irama yang tidak pernah berhenti. Warga yang datang lebih awal memindah-mindahkan ember, baskom, bahkan tutup panci besar untuk menampung air yang jatuh dari lubang atap. Para ibu memeluk panci hidangan Maulid agar tidak kemasukan air, sementara sebagian warga lain terpaksa berdiri di luar tenda dengan payung koyak yang tak mampu menahan derasnya hujan. Mereka tetap bertahan dalam dingin, dalam becek, dalam ketidakpastian.
Namun tak ada satu pun yang pergi. Mereka menunggu seseorang yang sejak pagi sudah menjadi bahan pembicaraan: Wakil Bupati Aceh Timur, T. Zainal Abidin. Warga ingin melihat apakah pejabat daerah benar-benar berani datang ke ladang berlumpur seperti itu—bukan pada masa kampanye, bukan ketika panggung sudah disiapkan, tapi saat hujan turun, jalan berubah menjadi kubangan, dan ladang menjadi licin seperti sabun.
Di waktu yang sama, Wabup Zainal bertolak dari Idi. Langit gelap, hujan turun deras, tapi ia tetap bergerak bersama ajudan dan beberapa orang pendamping. Perjalanan dua jam menuju pedalaman Seuneubok Bayu terasa seperti menembus dunia yang ingin menolak kehadiran siapa pun. Begitu memasuki kawasan perbukitan Panton Rayeuk, mobil dinas yang ia tumpangi tak sanggup lagi menanjak. Jalan ricuh, tanah menggumpal, ban selip, dan kendaraan mulai bergoyang.
Zainal turun dari mobil, hujan langsung memukul wajahnya. Sepatunya tenggelam dalam lumpur yang lengket. Rombongan lain terpaksa berhenti jauh di belakang. Di jalur seperti itu, tidak ada kendaraan yang mampu mendaki kecuali satu: jonder milik warga.
Tanpa ragu, Wabup naik ke atas jonder. Kendaraan sawit itu berguncang kuat, melompat-lompat di atas lubang besar, seperti menolak siapa saja yang tidak benar-benar ingin sampai. Namun Zainal tetap bertahan. Basah kuyup, bau lumpur menempel pada pakaiannya, tangan berpegangan pada besi yang licin, ia membuka matanya pada fakta yang jarang terlihat dari balik kantor pemerintahan: jalan menuju kehidupan warga Seuneubok Bayu bukan sekadar jauh, tapi menyakitkan.
Ketika jonder memasuki area ladang, ratusan warga mulai bergerak mendekat. Tidak ada suara sorak-sorai. Yang terdengar justru helaan napas yang seakan pecah menjadi tangis tertahan. Seorang ibu tua menutup mulutnya dengan tangan, wajahnya basah entah oleh hujan atau air mata. Anak-anak memegangi pakaian ibunya sambil memandang pemimpin yang jarang mereka lihat dari dekat.
“Pak… kami pikir Bapak tak mungkin sampai ke sini,” ujar seorang lelaki sambil menyeka air hujan dari mata.
Kalimat itu terdengar sederhana, namun mengandung luka yang panjang: luka karena selama ini mereka merasa sendirian menghadapi masalah tanah, menghadapi jalan yang buruk, menghadapi ancaman yang tidak pernah jelas.
Abi Fakrurrazi, Pimpinan Dayah Bustanur Arrisyadi Padang Kasah, menyambut kedatangan Wabup dengan suara yang parau. Ia mengatakan, sepanjang hidupnya, ia belum pernah melihat seorang wakil bupati datang ke tengah ladang berlumpur dalam kondisi seperti itu—bukan dalam kampanye, bukan dalam acara resmi, bukan dalam situasi yang terancang rapi. “Ini pertama kali seorang wakil bupati hadir langsung seperti ini, saat hujan, saat tenda bocor, saat semua serba sulit,” ujarnya.
Abi menjelaskan bahwa masyarakat telah menggarap lahan tersebut sejak 1998, jauh sebelum munculnya klaim dari perusahaan perkebunan. Selama bertahun-tahun, warga hidup dalam ketidakpastian karena status tanah yang tak jelas. Sengketa itu menambah beban mental yang seakan tak pernah berakhir. “Kami hanya ingin kepastian,” ucap Abi, pelan namun tegas.
Wabup mendengarkan satu per satu keluhan warga. Ia berdiri tanpa payung, dikelilingi tenda bocor yang terus meneteskan air. Di hadapan ratusan warga yang basah kuyup, ia mengatakan bahwa dirinya memahami betapa berat kehidupan mereka. Ia berjanji membawa persoalan ini langsung kepada Bupati Aceh Timur dan meminta seluruh pemangku kepentingan duduk bersama untuk mencari penyelesaian terbaik. “Saya minta masyarakat tetap tenang. Kita akan usahakan solusi yang adil,” katanya.
Hujan kembali turun lebih deras ketika acara berakhir, seakan ingin memastikan bahwa perjalanan pulang pun tidak akan mudah. Mobil dinas yang terjebak lumpur ditarik dengan jonder warga. Langit sudah gelap ketika akhirnya Wabup tiba di Kota Idi, tubuhnya letih, pakaiannya penuh lumpur, tetapi suaranya tetap tegas bahwa apa yang dilihat hari itu tidak akan dibiarkan berlalu begitu saja.
Bagi warga Seuneubok Bayu, hari itu bukan hanya peringatan Maulid. Itu adalah hari ketika seorang pemimpin datang menyapa mereka, menempuh perjalanan yang selama ini hanya dilalui rakyat kecil, merasakan hujan yang sama, lumpur yang sama, dan beban hidup yang sama. Hari itu adalah hari ketika mereka merasa tidak benar-benar ditinggalkan.
Dan bagi siapa pun yang melihat ratusan warga bertahan di bawah tenda bocor demi didengar, hari itu adalah pengingat bahwa masih banyak sudut Aceh Timur yang menunggu keadilan menemukan jalannya.
Hari ketika hujan turun, lumpur menghalangi, dan seorang pemimpin memilih untuk tetap melangkah ke arah rakyatnya.

Post a Comment