Opini:
Ditulis Oleh: Fahmi Wartawan Jaya Media Nusantara (JMN)
JMNpost.com | Dalam setiap masa kepemimpinan, selalu ada dua ujian besar yang menanti di depan: ujian kerja dan ujian hati.
Yang pertama diuji oleh hasil — sejauh mana program berjalan dan rakyat merasakan manfaatnya.
Yang kedua diuji oleh suara, seberapa lapang dada seorang pemimpin menghadapi kritik, saran, bahkan sindiran yang datang dari bawah.
Aceh Timur punya sejarah politik yang menarik.
Selama dua periode kepemimpinan Rocky, masyarakat menyaksikan masa di mana kritik menjadi bagian dari kehidupan pemerintahan.
Namanya kerap muncul di media dengan beragam sorotan, mulai dari isu kebijakan, janji pembangunan, hingga dinamika birokrasi.
Namun, menariknya, di tengah derasnya kritik itu, Rocky tetap tenang.
Ia tidak membalas dengan marah, tidak menganggap kritik sebagai serangan pribadi.
Sebaliknya, ia menjawab dengan kerja memperbaiki apa yang dianggap kurang, dan terkadang menertawakan dirinya sendiri.
Itulah salah satu hal yang membuatnya bertahan dua periode: wibawanya tumbuh bukan dari rasa takut orang lain, tapi dari keberaniannya mendengar.
Kini, suasananya berbeda. Angin politik di Aceh Timur terasa lebih sunyi, bukan karena masyarakat puas, tapi karena orang mulai berhitung sebelum bicara.
Kalimat sederhana bisa disalahpahami, candaan ringan bisa dianggap sebagai bentuk tidak hormat.
Ruang publik yang dulu hidup oleh kritik kini mulai sepi oleh kehati-hatian.
Padahal, dalam pemerintahan yang sehat, kritik justru menjadi vitamin untuk memperkuat kebijakan, bukan racun yang harus dihindari.
Pemimpin sejati tidak kehilangan wibawa hanya karena membuka telinganya terhadap suara rakyat.
Ia justru bertambah besar karena kesediaannya berdialog.
Wibawa yang dibangun dari ketakutan hanya bertahan selama jabatan melekat.
Tapi wibawa yang tumbuh dari keterbukaan akan dikenang jauh setelah kursi kekuasaan berganti.
Rocky, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, telah memberi contoh sederhana: bahwa kekuatan pemimpin tidak diukur dari seberapa banyak orang diam di hadapannya, tapi dari seberapa banyak suara berani berbicara di sekitarnya.
Ia mungkin sering diserang, tapi tidak pernah menutup pintu.
Dan justru di situlah ia menunjukkan karakternya sebagai pemimpin yang berani menghadapi kenyataan termasuk kenyataan pahit dari suara rakyat sendiri.
Aceh Timur hari ini punya pemimpin baru yang muda, energik, dan cerdas.
Masyarakat tentu berharap kepemimpinan baru ini melanjutkan hal-hal baik, sembari memperbaiki yang tertinggal.
Namun, yang tak kalah penting adalah melanjutkan tradisi keterbukaan terhadap kritik yang dulu sempat hidup di masa Rocky.
Karena rakyat yang berani bicara bukan tanda pembangkangan, melainkan tanda cinta terhadap daerahnya.
Kalau kritik dijawab dengan kerja, rakyat akan menghormati.
Tapi kalau kritik dijawab dengan amarah, rakyat akan memilih diam — dan diamnya rakyat sering kali lebih berbahaya dari ributnya kritik.
Sebab ketika masyarakat tak lagi berani mengingatkan, di situlah kekuasaan mulai kehilangan arah.
Aceh Timur tak butuh pemimpin yang disanjung tanpa alasan.
Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang kuat namun rendah hati, tegas tapi mau mendengar.
Karena kepemimpinan bukan soal siapa yang paling ditakuti, tapi siapa yang paling mampu menampung suara tanpa harus kehilangan tenang.
Dan mungkin di titik ini, kita rindu pada satu hal sederhana dari masa lalu:
Seorang pemimpin yang tidak tersinggung oleh kritik, tapi justru bekerja lebih keras karenanya.
Itu bukan hanya soal gaya, tapi soal jiwa besar seorang pemimpin.

Post a Comment