Ketika Bahasa Tubuh Ketua DPR Aceh Membocorkan Isi Batin



Opini: 

Ditulis Oleh: Mahdi

Ada momen menarik yang terjadi dalam aksi demonstrasi di Aceh beberapa waktu lalu. Semua orang sibuk memperhatikan tuntutan massa, spanduk, dan teriakan, tapi sedikit yang benar-benar fokus pada sosok Ketua DPR Aceh, Zulfadli. Banyak yang menilai ia tampak emosional, ada pula yang menuduh ucapannya tidak pantas untuk ukuran pejabat negara. Namun dari kacamata saya, justru sebaliknya. Yang saya tangkap dari gestur, nada suara, dan refleks mulutnya bukanlah emosi seorang pejabat, melainkan semangat merdeka yang tidak bisa lagi ia sembunyikan.

Dalam psikologi populer ada sebuah premis sederhana: tubuh manusia tidak bisa berbohong. Kata-kata bisa disusun sedemikian rupa untuk menampilkan wajah diplomatis, tapi tubuh, ekspresi wajah, gerak tangan, bahkan nada suara, seringkali membocorkan apa yang sesungguhnya dirasakan di dalam hati. Itulah yang saya lihat pada sosok Ketua DPR Aceh saat berhadapan dengan massa. Ia mungkin masih menyusun kalimat dengan cara seorang pejabat, tetapi bahasa tubuhnya sudah bicara lebih jauh. Sorot mata, tarikan wajah, dan intonasi suara semuanya memancarkan satu hal: semangat yang sama dengan massa, semangat yang tidak bisa dipalsukan.

Banyak orang cepat menuduhnya emosi. Tapi kalau diperhatikan seksama, ekspresi Zulfadli tidaklah sama dengan orang marah. Wajah orang marah biasanya ditandai dengan alis yang menurun tajam, rahang mengeras, dan nada suara yang terputus-putus. Yang saya lihat pada Ketua DPR Aceh adalah sebaliknya. Ada sorot mata menyala, ada nada suara yang penuh keyakinan, dan ada gerakan tangan yang lebih menyerupai orang sedang mengajak serta, bukan sedang memaki. Semua tanda itu tidak menunjukkan ledakan emosi, melainkan pancaran gairah yang sulit dibendung. Itu yang saya sebut sebagai semangat merdeka yang keluar secara refleks.

Ucapan yang meluncur dari mulutnya pada momen itu saya tangkap bukan sebagai pernyataan yang dirancang matang, tetapi refleks mulut. Refleks mulut ini, dalam istilah psikologi komunikasi, sering kali menjadi kebocoran batin seseorang. Di saat tertentu, apalagi ketika terseret arus massa yang bergejolak, manusia sering kehilangan filter formal. Kata-kata yang keluar justru paling jujur menggambarkan isi hati. Saya melihat refleks itu pada Zulfadli. Ia tidak sedang memainkan peran sebagai pejabat yang menjaga jarak, melainkan terjebak dalam arus kejujuran batin.

Tentu secara formal, posisinya sebagai Ketua DPR Aceh memiliki batasan yang jelas. Ia terikat sumpah jabatan, harus tunduk pada konstitusi, dan menjaga ucapannya agar tidak bertabrakan dengan kerangka NKRI. Dari sisi hukum, ia tidak mungkin secara gamblang mengatakan bahwa ia menginginkan Aceh merdeka. Itu konsekuensi jabatan. Namun di balik pagar formal itu, kita tetap berhadapan dengan manusia biasa yang bisa larut oleh situasi. Bahasa tubuh yang muncul tidak bisa dikurung oleh sumpah jabatan. Dalam kondisi seperti aksi demonstrasi yang penuh teriakan dan pekikan, refleks manusia sangat mungkin melampaui batas formal itu.

Kalau kita cermati, Zulfadli saat itu tidak lagi tampak berbicara kepada massa, melainkan berbicara dengan massa. Perbedaan ini penting. Berbicara kepada biasanya bersifat instruktif, menjaga jarak, dan tetap menunjukkan posisi hierarki. Tapi berbicara dengan berarti larut, menyatu, dan sejajar. Dan yang saya lihat, Ketua DPR Aceh saat itu larut ke dalam atmosfer massa. Ia bukan lagi sekadar pejabat yang menyampaikan kata-kata, ia menjadi bagian dari pekikan kolektif. Itu tampak dari nada suara yang meninggi seiring teriakan demonstran, gerakan tubuh yang selaras dengan ritme massa, dan raut wajah yang menegaskan bahwa ia pun tersetrum oleh semangat yang sama.

Dari kacamata politik, sikap seperti ini memang bisa dianggap berbahaya. Seorang pejabat negara yang larut dalam narasi massa bisa dicap kontroversial, bahkan bisa dituding melampaui batas. Namun dari kacamata psikologi nonverbal, yang terjadi justru manusiawi. Ia hanya menunjukkan apa yang sesungguhnya dirasakan. Ia bukan sedang menyusun strategi politik, ia sedang memperlihatkan refleks alami seorang manusia yang ikut terseret arus.

Maka wajar bila publik kemudian terbelah. Ada yang menuduh Zulfadli emosional, ada yang melihatnya terlalu jauh, bahkan ada yang mendorong agar ia dicopot. Namun bagi saya, yang muncul justru sebuah kejujuran batin yang tak bisa dipalsukan. Bahasa tubuhnya telah membocorkan isi hatinya: ia merasakan semangat yang sama dengan massa yang meneriakkan kemerdekaan. Dan kalau ada yang bertanya apakah itu salah, saya hanya bisa bilang, refleks tidak bisa dinilai salah atau benar. Refleks adalah cermin dari batin.

Opini ini bukan tuduhan, bukan pula penghakiman. Ini hanya pembacaan bahasa tubuh, semacam psikologi populer yang berusaha menangkap lapisan di balik kata-kata. Dari kacamata ini, jelas bahwa Ketua DPR Aceh tidak sedang marah. Ia tidak sedang emosional. Ia hanya sedang terbawa semangat, dan refleks mulutnya membocorkan isi batin yang mungkin selama ini ia tahan di balik pagar formal jabatan.

Kalau tubuh tidak bisa berbohong, maka tubuh Zulfadli sudah lebih dulu mengaku. Dan pengakuan itu bukan kemarahan seorang pejabat, melainkan semangat seorang manusia Aceh yang larut dalam pekikan merdeka. 

Post a Comment

Previous Post Next Post