Opini:
Ditulis Oleh : Fahmi (Pemerhati Sosial dan Kebijakan)
Seorang gubernur semestinya memahami aturan sebelum mengeluarkan pernyataan di ruang publik. Namun apa yang terjadi di Sumatera Utara justru memperlihatkan hal sebaliknya. Gubernur Bobby Nasution terekam menegur sebuah truk berpelat BL dari Aceh, dan dengan enteng meminta kendaraan tersebut menggunakan pelat BK agar Pendapatan Asli Daerah Sumatera Utara tidak bocor.
Adegan ini viral, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah seorang kepala daerah boleh semaunya mengatur soal pelat nomor?
Jawabannya jelas tidak. Pelat nomor kendaraan adalah domain hukum nasional, bukan otoritas provinsi. Kode BL resmi untuk Aceh, BK resmi untuk Sumatera Utara, B untuk Jakarta, dan seterusnya. Semua diatur rapi oleh Korlantas Polri. Tidak ada satu pun gubernur yang bisa seenaknya mengubah atau menegur penggunaan pelat dari provinsi lain. Dengan kata lain, teguran Bobby sudah keliru sejak awal. Ia tidak sedang membela PAD Sumut, melainkan justru memperlihatkan kekeliruan pemahaman terhadap aturan dasar negara.
Alasan Bobby soal PAD pun menunjukkan kerancuan berpikir. Pajak kendaraan dibayarkan di tempat kendaraan didaftarkan. Artinya, truk dengan pelat BL membayar pajaknya di Aceh. Itu sah dan tidak bisa digugat. Kendaraan dari Aceh bebas melintas di Sumut, sebagaimana kendaraan dari Sumut bebas melintas di Aceh.
Indonesia bukan negara yang terpecah-pecah dalam sistem feodal yang mewajibkan kendaraan minta izin setiap kali melintas batas provinsi. Indonesia adalah kesatuan. Maka ketika gubernur bicara seolah-olah pelat BL mengurangi PAD Sumut, pernyataan itu bukan saja salah kaprah, tetapi juga menunjukkan pola pikir yang sempit.
Mari kita uji logika pernyataan tersebut. Jika truk Aceh dianggap merugikan PAD Sumut, maka kendaraan Sumut dengan pelat BK juga merugikan PAD Aceh ketika melintas di Banda Aceh. Apakah pemerintah Aceh lalu harus menghentikan semua truk BK di jalan raya dan menyuruhnya balik?
Jika logika seperti ini dipakai, maka negeri ini akan pecah menjadi provinsi-provinsi kecil yang saling menutup akses. Bahkan lebih jauh, kendaraan berpelat B dari Jakarta seharusnya juga tidak boleh masuk Medan, karena pajaknya jelas tidak masuk kas Sumut. Begitu pula mobil wisatawan dari Jawa Tengah berpelat H, semestinya dipaksa putar balik di Bandara Kualanamu. Semua itu tentu absurd, tetapi inilah konsekuensi logis dari ucapan yang disampaikan Bobby.
Pernyataan seperti itu berpotensi merusak hubungan antarprovinsi. Publik Aceh bisa merasa tersinggung, seolah-olah dianggap sebagai perampok PAD Sumut hanya karena kendaraan mereka beroperasi di sana. Padahal kenyataannya, ekonomi Aceh dan Sumut saling terhubung erat.
Komoditas dari Aceh mengalir ke Medan, sementara barang-barang dari Medan dijual ke Aceh. Jika logika Bobby diterapkan, perdagangan ini akan terganggu, dan justru merugikan Sumut sendiri. Dengan demikian, yang semula ingin terlihat tegas malah justru membuka ruang sentimen yang berbahaya.
Seorang gubernur seharusnya berbicara pada level visi besar. Ia semestinya memikirkan pembangunan lintas wilayah, infrastruktur, dan koordinasi ekonomi regional. Bukan berhenti di jalan untuk mengurusi pelat nomor kendaraan. Aksi itu lebih terlihat sebagai upaya pencitraan yang salah sasaran.
Mau terlihat tegas di depan kamera, tapi tidak tepat secara hukum. Dan yang lebih merugikan, blunder ini justru memperlihatkan kelemahan seorang pemimpin dalam memahami aturan dasar kenegaraan.
Tindakan menghentikan truk pelat BL dan meminta ganti BK hanya menghasilkan satu kesimpulan: gubernur sedang memainkan panggung, bukan menjalankan aturan. Ia tidak sedang menegakkan hukum, karena tidak punya kewenangan di bidang itu.
Ia hanya sedang mencari sorotan publik. Namun sorotan itu kini berubah menjadi bumerang. Bukan hanya masyarakat Aceh, tetapi juga publik nasional bisa menilai bahwa pernyataan tersebut adalah produk dari kekeliruan berpikir.
Seorang pejabat publik seharusnya berani mengakui kesalahan. Bobby semestinya sadar bahwa ucapannya keliru, lalu menarik kembali pernyataan itu. Mengaku salah bukanlah kelemahan, melainkan kebesaran hati.
Lebih baik ia menyampaikan klarifikasi, meminta maaf kepada publik Aceh, dan berjanji tidak akan mengulanginya. Itu jauh lebih terhormat daripada membiarkan dirinya dikenang sebagai gubernur yang menegur truk Aceh di jalan hanya karena gagal memahami aturan pelat nomor.
Jika Bobby tidak menarik ucapannya, konsekuensinya jelas. Ia akan dicatat sebagai pemimpin yang lebih sibuk mengejar panggung ketimbang mengurus hal-hal substantif. Ia akan dikenal sebagai gubernur yang menciptakan pernyataan keliru, yang menjadikan pelat BL sebagai kambing hitam.
Ia tidak akan dikenang sebagai pemimpin visioner, melainkan sebagai gubernur yang memperlihatkan logika terbalik di depan rakyatnya sendiri. Dan itu tentu merugikan marwah jabatan gubernur Sumatera Utara.
Ucapan keliru bisa terjadi pada siapa pun. Tetapi ketika kesalahan itu dipertahankan, yang lahir adalah kerugian moral dan politik. Bobby masih punya kesempatan memperbaiki.
Ia bisa mengklarifikasi, mencabut ucapannya, dan mengembalikan wibawa jabatan gubernur Sumut. Kalau tidak, publik akan terus mengingatnya sebagai contoh nyata bagaimana sebuah pencitraan bisa berubah menjadi blunder yang mempermalukan jabatan tinggi di sebuah provinsi.
Post a Comment