JMNpost.com | Aceh Utara Penetapan biaya pendaftaran calon Geusyik sebesar Rp7 juta di Gampong Simpang Tiga, Kecamatan Langkahan, terus menuai polemik. Di tengah kontroversi pungutan yang dianggap tidak sah, muncul pasangan suami istri yang mendaftar sebagai calon. Fenomena ini menimbulkan tanda tanya: apakah biaya Rp7 juta sengaja dijadikan alat untuk menjegal calon lain?
Sejumlah warga menyebut, angka Rp7 juta jelas tidak masuk akal dan menutup kesempatan masyarakat kecil untuk ikut bersaing. “Ini seperti dipasang pagar tinggi, hanya yang punya uang berlebih yang bisa lewat. Apalagi sekarang malah suami istri yang maju, kesannya peluang orang lain makin dikunci,” ujar seorang warga kepada media ini, Sabtu 6 September 2025.
Protes masyarakat juga mengacu pada aturan hukum. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 34 ayat (3) menegaskan bahwa biaya pemilihan kepala desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 Pasal 48 ayat (1) menyebut biaya pemilihan kepala desa menjadi beban APBD Kabupaten/Kota, serta ayat (2) memperbolehkan tambahan pembiayaan melalui APBDes.
Sementara itu, dalam Peraturan Bupati Aceh Utara Nomor 6 Tahun 2023 tentang Standar Biaya Pemerintahan Gampong, tidak ada satupun ketentuan yang mengatur pungutan biaya pencalonan dari calon geusyik. Artinya, pungutan Rp7 juta tidak memiliki dasar hukum.
Kondisi makin janggal karena dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong (APBG) tahun 2025 tidak ditemukan usulan maupun alokasi anggaran untuk pelaksanaan Pilchiksung. Hal ini menunjukkan ketidaksiapan Pemerintah Gampong dalam mempersiapkan pemilihan Geuchik baru, padahal masa jabatan Geuchik saat ini akan berakhir pada September 2025.
“Kalau pasangan suami istri bisa maju dua-duanya, jelas ada dugaan uang dijadikan modal utama. Tidak tertutup kemungkinan memang hanya mereka yang mendaftar. Ini menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan ada konspirasi terencana untuk menjegal calon lain dengan cara menetapkan biaya setinggi itu. Ini sangat mencederai pesta demokrasi yang seharusnya memberikan kesempatan bagi masyarakat ikut kompetisi,” kata warga lainnya.
Bahkan seorang sumber menyindir dengan nada jenaka. “Kalau soal nyoblos, suami memang tiap malam nyoblos istrinya, tapi ujung-ujungnya tetap istri yang kalah. Nah, kalau di Pilchiksung gini, jangan sampai rakyat kecil juga jadi korban kekalahan gara-gara aturan aneh Rp7 juta itu,” ujarnya sambil tertawa.
Namun Ketua Panitia Pilchiksung Simpang Tiga, Misbahuddin, menegaskan bahwa penetapan biaya Rp7 juta merupakan hasil musyawarah. “Keputusan ini ada berita acara dan absen rapatnya. Jadi bukan keputusan panitia sendiri,” katanya saat dikonfirmasi.
Hingga berita ini diturunkan, JMNpost.com belum memperoleh klarifikasi resmi dari pihak kecamatan maupun pemerintah kabupaten terkait dasar hukum pungutan biaya pendaftaran Rp7 juta tersebut, serta apakah kemunculan pasangan suami istri dalam bursa calon tidak menyalahi etika demokrasi di tingkat gampong.

Post a Comment