Keuchik Mau Kalahkan Periode Presiden? MK Sudah Kasih Remnya



Opini:
Ditulis Oleh: Mahdi

Kadang, ambisi manusia itu seperti karet gelang: kalau ditarik terlalu panjang, ujungnya bisa putus. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak perpanjangan masa jabatan keuchik dari enam tahun menjadi delapan tahun adalah salah satu contoh nyata bagaimana negara bilang, “cukup, jangan kebablasan.”

Bayangkan saja, jabatan presiden hanya lima tahun, anggota DPR lima tahun, bahkan kepala daerah juga sama. Tapi ada keuchik yang kepingin delapan tahun, itu artinya, mereka mau lebih lama duduk di kursi daripada orang yang tanda tangannya bisa bikin perang berhenti atau bikin APBN disahkan. Gila, kan?

Memang, jadi keuchik itu tidak mudah. Pagi ditarik urusan BLT, siang dihadang proposal pembangunan meunasah, sore ditunggu laporan dana desa. Tapi, bukankah beratnya tanggung jawab itu justru alasan kenapa masa jabatan perlu bergilir? Supaya ada penyegaran, bukan malah jadi kursi empuk yang makin lama makin lengket.

Bila permintaan ini disetujui, nanti bisa muncul tren baru: “Jabatan saya panjang, proyek pun panjang.” Padahal, rakyat di gampong itu butuh pemimpin yang segar idenya, bukan yang sudah terlalu betah sampai lupa rasanya jadi warga biasa.

Lucunya, alasan perpanjangan yang sering dilontarkan adalah soal “stabilitas pemerintahan gampong.” Kalau begitu logikanya, kenapa tidak sekalian usul jadi keuchik seumur hidup? Stabil sekali itu. Tinggal nanti ganti marga jadi “keuchik” di KTP.

Kita juga harus ingat, jabatan itu bukan seperti menanam kelapa sawit yang semakin lama semakin menguntungkan. Ada waktunya untuk menanam, ada saatnya memetik, dan ada waktunya menyerahkan cangkul kepada orang lain. Enam tahun sudah lebih dari cukup untuk membuktikan apakah seorang keuchik memang membawa perubahan atau hanya pandai meresmikan gapura.

Putusan MK ini, meski pahit bagi sebagian orang, sebenarnya menjaga kehormatan jabatan itu sendiri. Kalau sampai lebih panjang dari presiden, bisa-bisa nanti keuchik jadi simbol kekuasaan tak tergoyahkan di gampong. Bayangkan, presiden sudah ganti dua kali, keuchik masih senyum di kursi yang sama sambil bilang, “saya masih lanjut, bro.”

Jadi, mari kita anggap putusan ini sebagai pengingat. Jabatan bukan warisan, dan kekuasaan bukan mainan. Keuchik yang baik adalah yang bisa selesai tepat waktu, lalu pulang ke rumah dengan kepala tegak karena sudah menunaikan amanah, bukan karena berhasil memperpanjang masa kontraknya.

Kalau ada keuchik yang masih kecewa, ya tidak apa-apa. Anggap saja enam tahun itu seperti paket hemat, cukup untuk dinikmati, tapi tidak sampai bikin kekenyangan. Karena di ujungnya, yang rakyat butuhkan bukan lamanya Anda duduk di kursi, tapi jejak baik yang tertinggal setelah Anda berdiri.

Post a Comment

Previous Post Next Post