JMNpost.com | Banda Aceh, - Menjelang peringatan 20 tahun perdamaian Aceh, suara kritis mulai bermunculan. Salah satunya datang dari Razali, atau yang akrab disapa Nyakli Maop, aktivis hak asasi manusia dan penggiat media sosial, yang mendesak Pemerintah Aceh agar tidak diam seribu bahasa soal capaian perjanjian damai yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, tahun 2005 silam.
Menurutnya, selama ini pemerintah Aceh terkesan abai dan kurang bertanggung jawab dalam menyampaikan perkembangan implementasi butir-butir perjanjian damai yang menjadi dasar lahirnya pemerintahan dengan kekhususan.
“Pemerintah Aceh terkesan tidak begitu memperdulikan apa yang telah dijanjikan dalam perjanjian damai, adahal, jika kita melihat sebelum terjadinya perdamaian, Aceh seperti neraka bagi masyarakat jelata,” kata Nyakli Maop kepada JMNpost.com, Minggu (27/7/2025)
Ia menilai, 20 tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk menunjukkan hasil konkret dari perjanjian damai, bukan sekadar peringatan seremonial. Namun, banyak poin krusial yang hingga kini masih menggantung. Misalnya, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, pengakuan terhadap korban konflik, pengelolaan sumber daya alam secara adil, dan keberpihakan anggaran pada daerah terpencil yang dahulu jadi kantong basis konflik.
“Masyarakat berhak tahu apa yang telah dicapai dan apa yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah,” ujarnya.
Nyakli juga menyoroti para mantan juru runding yang kini diam membisu. Menurutnya, publik berhak tahu apakah para elite Aceh yang dulu memperjuangkan perdamaian masih berdiri di pihak rakyat, atau sudah tenggelam dalam kenyamanan kekuasaan.
“Kalau dulu mereka bisa bicara lantang di forum internasional, masa sekarang tak mampu menjelaskan kepada rakyat apa yang terjadi dengan hasil perjuangan itu?” tegasnya.
Nyakli mendesak Pemerintah Aceh, DPRA, serta Komite Peralihan Aceh (KPA) untuk tidak terus bermain di ruang sunyi. Ia meminta mereka membuat laporan resmi dan terbuka, menjelaskan sejauh mana realisasi perjanjian damai, baik dari sisi politik, ekonomi, keadilan, maupun kesejahteraan masyarakat akar rumput.
“Ini bukan soal nostalgia, ini soal akuntabilitas. Perdamaian bukan sekadar tidak terdengar bunyi senjata. Tapi apakah rakyat Aceh sudah hidup lebih baik?” katanya menutup.
Post a Comment