JMNpost.com | Aceh Timur, - Aroma busuk dugaan praktik mafia tanah kembali tercium di Aceh Timur. Kali ini, ratusan hektare lahan milik negara di kawasan transmigrasi Desa Alue Kol atau Alue Tuwi, Kecamatan Ranto Selamat, diduga telah lama diperjualbelikan secara ilegal kepada seorang pengusaha berinisial SF.
Lahan yang semestinya diperuntukkan bagi kesejahteraan warga transmigran, justru digadai dan dijual murah atas nama kepentingan pribadi.
Informasi yang dikutip dari suaraindonesia-news.com menyebutkan bahwa transaksi kotor ini berlangsung sejak sekitar tahun 2006, tak lama setelah damai RI–GAM diteken, dan berlanjut hingga 2018. Di tengah ketakutan, eksodus, dan kekosongan hukum saat itu, pihak-pihak tak bertanggung jawab diduga memanfaatkan kesempatan untuk memperdagangkan tanah yang bukan haknya.
“Penjualan lahan milik eks warga transmigrasi sudah terjadi lama. Semua orang tahu, tapi banyak yang takut bersuara,” ujar seorang warga setempat yang memilih bungkam identitasnya.
Luas lahan yang dilaporkan telah berpindah tangan mencapai sekitar 600 hektare. Lahan perkebunan dan pekarangan yang sebelumnya dialokasikan oleh negara kini sudah dikapling dan dikuasai pihak ketiga, termasuk si pengusaha SF. Ironisnya, sebagian besar lahan ini belum bersertifikat alias masih tanah negara, namun dijual dengan harga puluhan juta rupiah per hektare.
Modus pengalihan disebut melibatkan oknum mantan aparatur desa. Nama mantan Keuchik berinisial S dan sejumlah perangkat desa mencuat karena dugaan keterlibatan mereka dalam pengukuran, pemetaan, dan penerbitan dokumen sporadik—dokumen liar yang kerap dijadikan pintu masuk mafia tanah.
“Tanah sudah ada pemiliknya sesuai petak yang ditetapkan pemerintah. Tapi karena konflik, banyak warga pergi. Lahan itu kemudian diambil alih dan dijual-jual begitu saja,” terang sumber.
Kepala Bidang Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Aceh Timur, Sofyan, mengakui bahwa Desa Alue Tuwi adalah wilayah resmi transmigrasi. Ia juga memastikan bahwa pihaknya tengah menyiapkan laporan resmi kepada Bupati Aceh Timur terkait dugaan penjualan ilegal lahan tersebut.
“Saat ini kami sedang mempersiapkan data untuk melaporkan kepada Bupati,” ujar Sofyan.
Sementara itu, mantan Keuchik S saat dikonfirmasi justru mencoba lepas tangan. Ia berdalih bahwa pengalihan lahan terjadi langsung antara pemilik lama dan pihak yang berminat membeli, tanpa intervensi dari aparatur desa. Bahkan ia menyebut bahwa sebagian besar lahan sudah diganti rugi oleh masyarakat lokal, seolah ingin mengaburkan fakta bahwa tanah tersebut adalah aset negara yang tak boleh diperdagangkan sembarangan.
“Saya rasa perlu dicek langsung ke lapangan. Yang mengganti rugi itu masyarakat kepada pemilik awal, bukan kami yang buatkan sporadik,” ujarnya. Ia juga mengklaim bahwa hanya sebagian kecil lahan yang dibeli oleh pengusaha bernama Saiful.
Namun argumen ini justru memperkuat dugaan bahwa telah terjadi praktik liar berkedok "ganti rugi suka sama suka" atas tanah negara. Jika benar bahwa lahan tersebut dialokasikan untuk program transmigrasi, maka segala bentuk pengalihan kepemilikan tanpa mekanisme hukum resmi merupakan pelanggaran serius terhadap UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, dan UU Nomor 29 Tahun 2009 tentang Transmigrasi.
Fenomena ini juga membuka borok lama bagaimana aparat desa kerap menjadi aktor utama dalam jual-beli tanah negara. Mereka bertindak bak makelar, memfasilitasi mafia tanah menguasai lahan ratusan hektare yang seharusnya dinikmati rakyat kecil.
Hingga saat ini, belum ada tindakan hukum tegas dari aparat penegak hukum. Publik hanya bisa berharap, laporan yang akan diserahkan ke Bupati Aceh Timur tak berakhir sebagai dokumen pajangan belaka.
Post a Comment