Di Balik Tenda ltu, Ada Tangis Lima Anak yang Terlupakan



JMNpost.com | Aceh Timur, - Angin malam merayap masuk dari celah-celah tenda oranye yang dijadikan dinding darurat. Di dalamnya, sebuah keluarga kecil berjuang melawan dingin dan rasa lapar. Atap seng bekas yang dipasang seadanya sudah dipenuhi lubang, sementara lantai tanah keras itu terasa seperti es saat hujan turun.

Ini terjadi di Gampong Tualang Pateng Kecamatan Peureulak Timur, Kabupaten Aceh Timur. Sudah dua bulan Zulkifli (53) bersama istrinya Nurhayati (48) dan lima anak mereka tinggal di situ, setelah rumah satu-satunya hangus dilalap api. Harta benda mereka habis tak bersisa, dan tubuh Zulkifli yang renta semakin tak berdaya karena kaki kanannya sudah lama cedera akibat kecelakaan mobil saat ia bekerja sebagai sopir dam truk.

Tanah tempat mereka mendirikan gubuk pun bukan milik sendiri. Saat ini mereka hanya duduk di atas tanah asamera yang dipinjamkan untuk sementara. Setiap malam, rasa takut menyelimuti keluarga itu jika sewaktu-waktu mereka harus angkat kaki dari sana.

Kelima anaknya, Juli Yanti (22), Azura (16), Mansur (13), Zahhira (10), dan Aisyah (8), meringkuk di atas tikar usang yang menjadi alas tidur. Saat hujan turun, mereka harus memindahkan posisi tidur karena air menetes dari atap seng bekas yang sudah karatan.

Malam-malam panjang sering kali diisi tangis Zahhira dan Aisyah yang ketakutan setiap kali angin kencang membuat gubuk bergoyang. Sementara Juli Yanti, sang kakak sulung, berusaha menenangkan mereka meski ia sendiri menyimpan rasa cemas yang dalam. 

“Adik-adik sering tanya kapan kita punya rumah lagi. Saya nggak tahu harus jawab apa,” bisiknya dengan suara lirih.

Kisah keluarga Zulkifli sampai ke telinga Wakil Ketua DPRK Aceh Timur, Junaidi, SE, lewat sebuah video viral di TikTok yang memperlihatkan kondisi memilukan mereka. Hari ini, Sabtu (12/7/2025), Junaidi datang bersama sahabatnya Muhammad, SE yang akrab disapa Amad Leumbeng, eks Calon Wakil Bupati Aceh Timur 2025.

Mereka terdiam beberapa saat melihat gubuk itu. Amad Leumbeng akhirnya angkat bicara dengan suara lantang. 

“Ini sudah dua bulan. Dua bulan mereka hidup seperti ini tanpa ada satu pun pejabat yang datang melihat. Di mana hati pemerintah Aceh Timur? Apakah harus menunggu rakyat mati kedinginan dulu baru mereka sibuk datang dengan rombongan?” katanya geram.


Amad Leumbeng tak bisa menyembunyikan amarahnya. 

“Pemerintah itu digaji rakyat untuk bekerja melayani rakyat, bukan untuk tidur di kantor ber-AC. Kalau rakyat kecil yang rumahnya terbakar saja tidak diurus, lalu apa gunanya ada pemimpin di kabupaten ini?”

Junaidi dan Amad Leumbeng kemudian sepakat membantu membangun kembali rumah keluarga itu dengan uang pribadi mereka. Tidak banyak bicara, mereka langsung menginstruksikan untuk mempersiapkan bahan bangunan agar keluarga Zulkifli bisa kembali menempati rumah layak.



Zulkifli tak kuasa menahan air mata. Tangannya gemetar saat menyambut uluran tangan kedua tamu itu. “Terima kasih banyak, Pak Junaidi, Pak Amad Leumbeng. Saya tak tahu harus bicara apa lagi… semoga Allah yang membalas semua kebaikan ini,” ucapnya terbata-bata.

Di antara tangis anak-anak dan aroma tanah basah di tenda darurat itu, Nurhayati hanya bisa memanjatkan doa agar badai hidup ini segera berlalu. Ia berharap keajaiban datang, bukan hanya dari dermawan, tapi dari mereka yang digaji negara untuk melindungi rakyat. Namun harapan itu terasa semakin tipis melihat dua bulan sudah berlalu tanpa satu pun pejabat Aceh Timur yang peduli.

Di balik tenda oranye itu, ada lima anak yang masih bermimpi bisa tidur nyenyak di rumah sendiri. Mereka hanya ingin merasa aman, di tanah yang katanya kaya, di kabupaten yang selalu mengumbar janji kesejahteraan. Tapi sampai kapan mereka harus menunggu?

Post a Comment

Previous Post Next Post