Eks Intel GAM, Tangannya Hilang di Perang, Negara Hilang di Damai

JMN


Oleh Fahmi JMN

JMNpost.com | Aceh Timur, - Aspal mulus membelah jalan ke Dusun Matang Kuta, Desa Beusa Baroeh, Kecamatan Peureulak Barat. Jalan itu rapi, bersih, bahkan lebih bagus dari banyak jalan utama kabupaten. Tapi di ujungnya, berdiri sebuah rumah kayu yang menua bersama penghuninya.

Rasyidin duduk di beranda, memeluk anak bungsunya yang merengek. Tangannya tinggal satu. Matanya cekung. Wajahnya penuh garis kelelahan yang tertumpuk dari tahun ke tahun. Usianya 35, tapi tubuh dan sorot matanya tak lagi muda.

Dulu ia seorang intel Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tahun 2004, saat bom plontar meledak di Kuala Beukah, tangan kanannya hancur. Harus diamputasi. Sejak itu, hidupnya berubah total. Dari pejuang yang menembus barikade aparat, menjadi seorang ayah yang bahkan tak mampu membelikan sepatu anak.

Beberapa tahun setelah damai, ia sempat bekerja sebagai peleles minyak dari tambang rakyat di Ranto Peureulak. “Naik mobil sewa, bawa jerigen. Minyaknya dari sumur rakyat. Saya antar ke pengepul,” kenangnya.

Pendapatannya tak tentu. Kadang dapat Rp110 ribu sehari, kadang cuma Rp70 ribu. Tapi baginya, itu cukup untuk beli beras dan susu anak, walau seadanya.

“Setidaknya waktu itu saya masih bisa kerja,” katanya lirih.

Tapi beberapa tahun terakhir, sumur minyak rakyat itu ditutup. Tak ada lagi aktivitas tambang. Tak ada lagi galon yang bisa diangkut. Tak ada lagi uang harian. “Sejak itu saya nganggur. Cuma nunggu orang manggil bantu-bantu. Tapi satu tangan ini bikin orang ragu,” ujarnya.

Rasyidin kini hidup bersama istrinya, Nurmala (30), dan empat anak: Khairul Akbar (10), Maulidia (6), Muhammad Rasya (3), dan si bungsu Muhammad Rayyan Alfarizqi yang baru berusia satu tahun. Rumah mereka berdinding papan bekas, beratap seng karat, bocor di lima titik.

“Kalau hujan, saya nggak tahu harus pilih selimutin anak atau emberin air dari atap,” katanya, separuh berseloroh.

Pernah juga anak sulungnya minta sepatu sekolah. Rasyidin cuma bisa bilang, “Nanti ya.” Tapi “nanti” itu sudah bertahun-tahun tak kunjung jadi hari ini.

“Saya bilang ke Akbar: sepatu bisa bolong, yang penting kakinya sehat. Ayah kamu aja udah bolong tangannya,” katanya sambil tertawa kecil. Tawa yang terdengar seperti ironi dari hati yang remuk.

Ia mengaku malu pada anak-anak. Sering kali saat mereka lapar, ia cuma bisa kasih air gula atau air tajin. Sembako dari pemerintah? Tidak pernah sampai. PKH? Namanya tak pernah masuk data. BLT Covid? Itu saja yang pernah diterima, dari 2020 sampai 2023. Setelah itu, kosong.

“Tahun lalu pemerintah gampong bantu perbaiki sedikit rumah. Itu pun bukan karena program berkelanjutan, Tapi karena ada yang kasihan. Jadi saya ini hidup dari belas kasihan, bukan dari hak,” katanya pelan.

Sekretaris Desa Beusa Baroeh, Tarmizi, membenarkan kondisi tersebut. “Benar, beliau warga kurang mampu. Kita pernah bantu rehab rumah. Tapi untuk bantuan seperti modal usaha, bansos, atau program eks kombatan, itu dari kabupaten,” katanya kepada JMNpost.com.

Masalahnya, sampai hari ini nama Rasyidin tidak muncul di sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Ia tak masuk dalam daftar bantuan apa pun. Bahkan sebagai eks pejuang, ia tak pernah mendapat akses terhadap program reintegrasi atau pemberdayaan.

Di sisi lain, para pejabat masih rutin membahas “penurunan kemiskinan”, “digitalisasi bansos”, dan “sidak sidak”. Tapi di rumah Rasyidin, yang dibutuhkan bukan transformasi, melainkan nasi.

Ia tak minta dikenang sebagai pahlawan. Ia hanya ingin dihargai sebagai manusia. Bisa hidup wajar. Bisa bangun warung kecil jika diberi modal. Bisa berhenti berutang untuk sekilo beras.

Mungkin benar kata orang kampung: perang memang sudah lama selesai, tapi masih banyak orang kecil yang terus bertempur. Bukan lagi dengan senjata, tapi dengan lapar, malu, dan sunyi.

Dan mungkin, yang paling menyakitkan bukan ketika tangan itu hilang karena ledakan. Tapi ketika negara ikut hilang setelah damai diteken.

Post a Comment

Previous Post Next Post