JMNpost.com | Aceh, - Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 3002.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan empat pulau di kawasan perairan Aceh Singkil sebagai bagian dari wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, memantik reaksi keras dari sejumlah tokoh asal Aceh. Salah satunya datang dari Anggota Komisi III DPR RI, Dr. H. M. Nasir Djamil, S.Ag., M.Si, yang menegaskan bahwa peluang untuk mengembalikan keempat pulau tersebut ke wilayah Provinsi Aceh masih terbuka secara hukum dan politik.
Empat pulau dimaksud adalah Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan. Selama ini, keempatnya dikelola oleh masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil. Bahkan dalam sejumlah dokumen agraria dan peta batas wilayah, keempat pulau itu tercatat sebagai bagian dari Aceh.
Menurut Dr. Nasir Djamil, penetapan tersebut belum bersifat final secara substansial karena secara historis dan administratif, status pulau-pulau tersebut masih berada dalam ranah nasional, bukan menjadi milik eksklusif Provinsi Aceh maupun Sumatera Utara.
“Jika kita melihat sejarahnya, keempat pulau ini selama ini berada dalam zona yang dikendalikan oleh pemerintah pusat. Namun tiba-tiba dalam keputusan administratif terkini, keempatnya diserahkan ke Sumatera Utara. Ini menunjukkan adanya fase kebingungan atau kegamangan dari pemerintah pusat,” ujar Nasir Djamil saat ditemui di Oprom Bupati Pidie, Selasa (10/6/2025) kemarin
Ia menegaskan bahwa Pemerintah Aceh tidak boleh tinggal diam. Upaya advokasi harus dilakukan melalui jalur formal, dengan melibatkan para ahli yang memiliki kapabilitas di bidang geospasial, hukum tata negara, serta penataan batas wilayah.
“Saya mengusulkan agar DPR RI dan DPD RI mendatangkan narasumber yang kredibel dan independen. Mereka ini nantinya bisa memberi second opinion sekaligus second alternatif dalam mencari solusi terbaik terhadap status empat pulau itu,” tutur politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.
Ia juga menyoroti pentingnya pendekatan ilmiah dan teknokratik, bukan hanya mengandalkan narasi historis atau sentimen kedaerahan semata. Pembuktian hukum dan data spasial harus menjadi landasan utama jika Aceh ingin memperjuangkan kembali klaim atas wilayah tersebut.
“Ini bukan semata-mata soal klaim administratif, tapi menyangkut eksistensi wilayah Aceh, hak masyarakat yang selama ini hidup di sekitar pulau-pulau itu, dan marwah Aceh sebagai entitas yang sah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegasnya.
Di tingkat nasional, sejumlah senator asal Aceh di DPD RI juga dikabarkan tengah menggalang dukungan untuk menyuarakan keberatan terhadap keputusan Mendagri tersebut, sekaligus mendorong pembentukan tim kajian lintas kementerian untuk meninjau ulang batas administratif antarprovinsi di wilayah perbatasan Aceh-Sumut.
Post a Comment