Siswa Belajar Teknologi, Teknologinya Masih Belajar Jalan


Opini oleh: Mahdi

Bayangkan Anda adalah seorang siswa di pelosok negeri. Hari ini hari besar sekolah kedatangan laptop dari pusat. Guru mengumpulkan murid, membagi-bagikan perangkat dengan semangat baru. Begitu dibuka, laptopnya menyala… pelan. Lalu mengeluarkan bunyi ngiiiiing seperti AC zaman Orba. Setelah tiga menit, muncullah ChromeOS. Tak ada Microsoft Word. Tak ada Excel. Tak ada harapan.

Inilah wajah digitalisasi pendidikan yang katanya modern, canggih, dan ramah pelajar. Tapi di lapangan, laptop-laptop itu justru lebih cocok dijadikan tatakan gelas guru daripada alat belajar. Spesifikasi seadanya, memori secuil, dan konektivitas berbasis awan yang ironis—sebab di banyak tempat, yang turun bukan sinyal, tapi hujan petir.

Namun ini bukan sekadar perkara spesifikasi. Ini tentang logika pengadaan yang mistis. Anggaran miliaran rupiah digelontorkan, tetapi hasilnya tak jauh beda dari laptop cuci gudang. Seolah-olah negara sedang eksperimen dengan jurus baru: menyulap uang rakyat menjadi perangkat lemot nan suci.

Pihak penyedia berdalih, “Laptop ini sudah sesuai kebutuhan pendidikan.” Mungkin yang dimaksud adalah pendidikan sabar. Karena untuk membuka satu dokumen saja, perlu niat, doa, dan sedikit pengorbanan. Laptop ini tidak hanya mendidik siswa, tapi juga mendidik guru agar lebih tabah menghadapi teknologi yang setengah jadi.

Yang lebih mengkhawatirkan, kejaksaan sudah mulai menyelidiki. Tapi, seperti biasa, penyelidikan dilakukan di pinggiran masalah. Periode yang diperiksa hanya dua tahun terakhir, padahal banyak pihak menduga aroma amisnya sudah menguar sejak proyek ini masih dalam bentuk proposal. Kita hanya bisa berharap, jaksa tidak ikut lemot karena kebanyakan pakai barang bukti yang harus di-restart setiap lima menit.

Dalam situasi ini, tidak sulit mencari pihak yang harus bertanggung jawab. Tapi seperti biasa, yang muncul adalah parade kalimat sakti: “Saya tidak tahu-menahu,” “Itu bukan wewenang saya,” dan “Semua sudah sesuai prosedur.” Kadang rasanya, sistem pertanggungjawaban di negeri ini lebih abstrak dari visi-misi kementerian.

Dan jangan heran kalau nanti muncul pernyataan resmi berbunyi: “Proyek berhasil dilaksanakan dengan baik.” Sebab di atas kertas, semua memang indah. Bahkan mungkin disertai grafik: “Jumlah laptop terdistribusi meningkat 400%.” Tapi grafik itu dibuat pakai komputer pribadi, karena laptop bantuan tidak kuat buka Excel.

Digitalisasi bukan soal membeli laptop. Ia adalah soal bagaimana alat itu bisa membangun kualitas pembelajaran. Kalau hanya asal beli, hanya asal angkut, hanya asal distribusi—maka yang terjadi bukan transformasi digital, tapi deformasi logika.

Dan yang paling lucu, rakyat tetap disuruh percaya bahwa ini adalah bagian dari kemajuan. Bahwa ini hanya “proses awal”. Bahwa nanti juga “akan diperbaiki”. Padahal, dari awal hingga akhir, yang berubah cuma narasinya. Laptop tetap sama, spesifikasi tetap pas-pasan, dan siswa tetap bingung: belajar pakai ini, atau mending pinjam HP emak?

Akhirnya, kita harus berani bilang: ini bukan kegagalan teknis. Ini kegagalan etis. Sebab anggaran pendidikan bukan tempat bermain-main. Bukan ajang percobaan. Apalagi untuk menyalurkan proyek kepada vendor-vendor yang entah datang dari mana dan menjual perangkat dengan harga tak masuk akal.

Dan untuk mereka yang terlibat tapi pura-pura tidak tahu: kami doakan Anda suatu hari duduk di depan salah satu laptop bantuan itu, lalu diminta mengerjakan tugas penting dalam waktu cepat. Supaya Anda paham betapa sabarnya rakyat Anda. 


Editor: Fahmi

Post a Comment

Previous Post Next Post