![]() |
Potret duka ayah dan anak: Tian, mahasiswi seni yang kini lumpuh, dan Sofyan, ayahnya yang disabilitas, harus dirawat bersamaan setelah tragedi kecelakaan (Foto: Fahmi) |
JMNpost.com | Aceh Timur, - Tian Suci Aulia Syahidah (18) tak lagi bisa memainkan alat musik seperti dulu. Tangannya yang dulu lincah mengatur nada kini tak bisa lagi diajak kompromi. Separuh tubuhnya, terutama bagian kanan, lumpuh sejak Jumat pagi, 27 Juni 2025, saat ia dan adiknya ditabrak di depan Masjid Simpang Ulim, Aceh Timur.
Hari itu,
sekitar pukul 10.30 WIB, Tian dan adiknya Agha Ghanim Qhariz (8), siswa SDN 1
Simpang Ulim, baru saja membeli fitting lampu. Mereka hendak menyeberang,
melewati bagian depan sebuah mobil Innova Reborn yang terparkir di tepi jalan.
Tian berhenti sejenak, memastikan arah kiri-kanan aman, lalu mendorong motornya
perlahan.
Namun
dari arah kiri, dengan kecepatan tinggi, sebuah sepeda motor Scoopy berwarna
abu-abu menabraknya secara frontal. Bagian depan stang motornya dihantam keras.
Tian terhempas dan tertindih sepeda motornya sendiri, sementara adiknya
melayang ke arah depan dan jatuh di atas badan sepeda motor. Warga sekitar yang
melihat kejadian itu langsung berlarian memberi pertolongan. Dalam kondisi
setengah sadar, Tian masih bisa bicara. Tapi tubuhnya sudah mulai mati rasa.
Pengendara
Scoopy itu belakangan diketahui bernama Irhami (25), warga Gampong Paya
Lipah, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara. Ia tidak memiliki SIM dan tidak
mengenakan helm. Di belakangnya dibonceng seorang perempuan bernama Ayu
Sapira (20), ibu rumah tangga asal kampung yang sama. Ia juga tidak
mengenakan helm. Tak ada kelengkapan, tak ada tanggung jawab.
Tian
dilarikan ke Puskesmas Simpang Ulim dan tak lama kemudian dirujuk ke RSUD dr.
Zubir Mahmud. Hasil pemeriksaan dokter menunjukkan kondisi serius: tulang
kelingking dan jari manis tangan kanannya patah dan retak, dan bagian
kanan tubuhnya dari pundak hingga kaki mengalami gangguan gerak berat. Ia
tidak bisa berdiri. Tidak bisa duduk sendiri. Tidak bisa menggenggam, apalagi
memainkan alat musik atau menari seperti biasanya.
Tian
adalah mahasiswi Universitas Syiah Kuala, jurusan Pendidikan Seni Drama, Tari,
dan Musik. Tapi ia bukan penari biasa. Ia lebih menonjol di bidang musik dan
seni gerak. Kuliah baginya bukan soal nilai, tapi panggilan jiwa. Dan kini,
saat jari-jari dan tubuh yang selama ini menjadi sarana ekspresinya tak bisa
digerakkan, seluruh dunianya runtuh.
“Aku cuma
mau hidup normal. Bisa kuliah, bisa latihan, bisa ikut pertunjukan. Tapi
sekarang aku enggak bisa gerak,” katanya pelan, menahan tangis yang tak pernah
benar-benar reda.
Ayahnya,
Sofyan, adalah seorang penyandang disabilitas. Ia mengandalkan tongkat dan
semangat untuk menghidupi keluarganya di Gampong Blang, Kecamatan Simpang Ulim.
Saat melihat anak gadisnya terbaring lumpuh, Sofyan memaksa diri mengantar ke
rumah sakit meski fisiknya lemah. Tapi beban mental dan tekanan yang tak
tertahankan membuatnya kolaps. Ia harus dirawat di rumah sakit yang sama karena
serangan jantung ringan. Diruang yang sama, ayah dan anak sama-sama terbaring,
sama-sama dalam penderitaan yang berat.
Alih-alih
menunjukkan empati, pihak pelaku justru menunjukkan respons yang
mengejutkan. Bukannya meminta maaf atau menanggung biaya medis, mereka
sempat datang ke rumah sakit hanya untuk menawarkan pengobatan alternatif
berupa urut (kusuk) atau kedukun patah. Tawaran itu terdengar seperti
ejekan bagi keluarga korban yang sedang menunggu kepastian medis. Tian
mengalami patah tulang dan kelumpuhan sebagian badan. Ini bukan keseleo atau
terkilir.
Yang
paling menyakitkan, insiden penghinaan dan intimidasi tidak berhenti di situ.
Saat di Tempat Kejadian Perkara (TKP) untuk menyampaikan kronologi, pihak
pelaku dan keluarganya justru melontarkan kata-kata kasar dan penghinaan kepada Tian di hadapan banyak orang. dan malah dicaci secara terbuka.
Kalimat
seperti “kiban kaba honda lege ek c4p*k” dilontarkan dengan suara keras.
Kata-kata kotor itu mengarah pada kendaraan Tian dan situasi korban, namun
secara emosional langsung menghantam harga diri seorang ayah. Di hadapan umum,
Sofyan hanya bisa diam. Ia tidak membalas. Ia tahu, jika ia marah, ia bisa
dianggap provokator. Ia memilih menahan harga diri dan mencatat semuanya dalam
hati.
Sofyan
awalnya ingin menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan. Tapi sikap pelaku
dan teman temannya yang jauh dari empati, bahkan cenderung meremehkan dan menantang,
membuatnya mantap menempuh jalur hukum.
“Saya
bukan cari ribut. Saya cuma cari keadilan untuk anak saya. Kalau enggak ke
polisi, saya enggak punya tempat lain untuk mengadu,” katanya lirih.
Tian kini
hanya bisa terbaring, tubuhnya mati separuh, kuliahnya tergantung, dan
semangatnya digerogoti rasa takut. Sementara pelaku masih bebas, tak ditahan,
dan tetap berjalan seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada rasa bersalah. Tak ada
tanggung jawab. Yang datang hanya tekanan dan ejekan.
Kisah
Tian adalah gambaran keras tentang bagaimana sistem hukum dan moral seringkali
gagal berpihak kepada yang lemah. Seorang gadis yang ingin kuliah, seorang ayah
disabilitas yang hanya ingin anaknya sembuh, justru harus menanggung luka dan
dihina. Mereka bukan hanya korban kecelakaan, tapi korban keacuhan dan
kekejaman sosial.
Hari ini,
Tian tak meminta simpati. Ia hanya ingin keadilan. Ia ingin pelaku
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia ingin hukum berdiri untuk orang kecil.
Karena jika tidak, luka Tian akan terus menganga. Bukan di tubuh, tapi di hati
kita semua.
Redaksi
Post a Comment