JMNpost.com | Banten,– Di antara gemuruh sorak penonton di Sport Climbing Center, Tangerang City, pada 23 Juni 2025, satu nama kembali mencuat dari Aceh: Bintang Afrial Maulana. Putra kelahiran Sawang, Aceh Selatan, 25 April 2006 itu, berdiri tegak di podium dengan medali perunggu menggantung di dada. Di balik medali itu, ada kisah panjang yang penuh peluh, batu tebing, dan mimpi yang tak lekang oleh keadaan.
Bintang bukan datang dari kemewahan. Ia adalah satu dari sekian anak yatim Aceh yang diasuh oleh SOS Children Village, lembaga sosial yang membina anak-anak kurang mampu dari seluruh Aceh. Ayahnya, almarhum Dedi Firmansyah, telah tiada sejak Bintang masih belia. Ibunya, Rusdiani, menjadi satu-satunya tempat berpulang di sela perjuangannya membelah karang kehidupan.
“Kalau ayah masih ada,” ujar Bintang suatu kali, “pasti beliau bangga lihat saya naik podium.” Kalimat itu terucap pelan, nyaris tenggelam di balik senyumnya. Tapi di matanya, jelas sekali: kehilangan itu tak pernah benar-benar sembuh.
Segalanya bermula saat ia duduk di bangku kelas 6 SD. Di saat anak-anak lain asyik bermain gawai dan berlari-lari di lapangan sekolah, Bintang mulai akrab dengan tali, sepatu panjat, dan keringat. Ia memulai latihan di SOS Climbing Club di bawah bimbingan Marwan M Juned, pelatih yang mengubah banyak anak kecil menjadi pemanjat sejati. Dari sana, ia belajar bahwa panjat tebing bukan sekadar olahraga, tapi jalan keluar dari keterbatasan.
Dinding tebing menjadi saksi bisu semangatnya. Ketika anak-anak lain pulang ke rumah, Bintang tinggal di asrama. Ketika yang lain belajar matematika, dia menghafal rute panjat dan titik pegangan. Tapi dia tak pernah mengeluh. “Saya suka berada di atas,” katanya. Barangkali itu metafora hidupnya naik terus, tak peduli berapa kali terjatuh.
Pada tahun 2022, kerja kerasnya mulai berbuah. Bintang masuk dalam skuad Pelatda PON Aceh, sebuah pencapaian langka bagi anak seusianya. Ia tampil di ajang-ajang nasional, melawan pemanjat dari seluruh penjuru negeri. Dan pada PON XXI Aceh-Sumut 2024, ia mempersembahkan medali perunggu untuk Aceh di nomor lead tim putra. Bersama rekan-rekannya, Musauwir dan Dani Syahfitra, mereka membuktikan bahwa panjat tebing Aceh bukan sekadar tempelan dalam kontingen PON, tapi kekuatan yang tak bisa diremehkan.
Namun pencapaian itu tak membuatnya berhenti. Ia justru makin gila latihan. Ia tahu, podium PON bukan ujung jalan. Maka ketika Kejuaraan Nasional KU XIX Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) digelar di Tangerang City, Banten pada 18–24 Juni 2025, Bintang datang bukan sekadar jadi peserta. Ia datang untuk menang.
Di nomor lead perorangan putra, ia tampil konsisten sejak babak penyisihan. Dan pada final 23 Juni 2025, ia memastikan diri meraih medali perunggu nasional. “Ini bukan soal medali,” katanya kemudian. “Ini soal membuktikan bahwa dari Sawang, dari SOS, dari hidup yang sulit, kita bisa naik setinggi apapun.”
Kini, Bintang Afrial Maulana tercatat sebagai salah satu atlet unggulan binaan FPTI Aceh. Namanya mulai diperhitungkan secara nasional. Tidak hanya karena prestasi, tapi juga karena konsistensinya. Ia tetap disiplin, rendah hati, dan tak pernah lupa dari mana ia berasal.
Bintang saat ini adalah mahasiswa Pendidikan Jasmani di Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG). Ia tak hanya memanjat tebing, tapi juga ilmu. Di sela-sela kuliah, ia masih terus berlatih. Ia masih rutin ke venue panjat, mengasah teknik, menjaga endurance, dan membimbing adik-adik junior di klub lamanya.
Prestasi lainnya adalah medali emas di POMDA XIX, mempertegas eksistensinya sebagai salah satu pemanjat terbaik Aceh saat ini. Tapi yang lebih penting dari semua itu, Bintang tak pernah melupakan akarnya. Ia tetap pulang ke SOS, menyapa adik-adik, mendorong mereka agar terus bermimpi. “Saya bukan siapa-siapa tanpa SOS,” ucapnya lirih.
Malam setelah ia menerima medali di Tangerang, Bintang duduk sendiri di sudut mess atlet. Ia membuka ponsel dan melihat foto lama: dirinya kecil memegang tali panjat, dengan wajah kotor dan senyum polos. “Aku naik bukan buat cari nama,” katanya pelan. “Aku naik karena kalau aku jatuh, nggak ada yang akan mengangkat aku, kecuali diriku sendiri.”
Ada yang bilang, anak yatim punya keistimewaan. Tapi keistimewaan itu tidak muncul tanpa kerja keras. Dalam diri Bintang, kita melihat bahwa kehilangan bukan akhir segalanya. Bahwa keadaan bukan alasan untuk menyerah. Bahwa dari Sawang yang jauh dari sorotan, bisa lahir bintang yang sinarnya menyilaukan di kancah nasional.
Kini, setelah puluhan kali naik dan jatuh, tangan Bintang sudah mahir membaca batu. Tapi lebih dari itu, hatinya sudah terbiasa membaca hidup. Dan ia memilih terus naik, tak peduli seberapa licin tebing itu.
“Panjat tebing mengajarkan saya satu hal,” ujarnya. “Bahwa jatuh itu biasa, yang luar biasa adalah bangun dan naik lagi.”
Post a Comment