JMNpost.com | Aceh Timur, - Yahya Boh Kayee, mantan anggota DPRK Aceh Timur dari Fraksi Partai Aceh (PA), mempertanyakan keabsahan surat kesepakatan antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terkait status empat pulau di wilayah Kabupaten Aceh Singkil. Ia menilai, dokumen yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution itu cacat secara administrasi.
Menurut Yahya, surat tersebut tidak mencantumkan nomor surat resmi dan tidak dilengkapi dengan stempel atau cap basah dari kedua belah pihak. Padahal, dokumen itu disebut-sebut disepakati dalam pertemuan resmi yang turut disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi.
"Surat ini patut diragukan. Tidak ada nomor surat, tidak ada cap resmi, bahkan formatnya terlihat seperti catatan biasa. Meski sudah ditandatangani dan disaksikan oleh dua menteri, tanpa unsur administrasi yang sah, ini bukan dokumen negara yang bisa dijadikan dasar hukum," kata Yahya kepada JMN, Kamis, 19 Juni 2025.
Ia menyebutkan bahwa urusan batas wilayah bukan perkara sepele dan tidak bisa diselesaikan melalui kesepakatan administratif semata. Apalagi jika tidak didahului proses hukum yang sesuai dan tanpa melibatkan rakyat Aceh melalui mekanisme resmi seperti Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
“Empat pulau itu bagian dari Aceh, bukan aset pribadi yang bisa dibagi dua begitu saja. Kalau Pemerintah Aceh menyetujui kesepakatan itu tanpa dasar hukum yang jelas, itu sama saja dengan menyerahkan wilayah ke provinsi lain tanpa izin rakyat Aceh,” tegas Yahya.
Ia juga menuding Pemerintah Aceh terlalu terburu-buru dalam merespons desakan dari Sumatera Utara. Menurutnya, persoalan batas wilayah seharusnya dikawal ketat oleh Gubernur Aceh, bukan malah diloloskan dalam bentuk dokumen tanpa legalitas yang jelas.
“Kalau memang itu hanya notulen rapat atau catatan pertemuan, ya jangan disebar seolah-olah sudah sah menjadi kesepakatan final. Tapi kalau itu memang dimaksudkan sebagai surat resmi, maka harus dilengkapi dengan elemen administrasi negara,” ujarnya.
Yahya juga mempertanyakan, jika memang empat pulau tersebut benar-benar telah dikembalikan ke Aceh, maka publik berhak tahu apakah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri yang selama ini menetapkan keempat pulau itu sebagai bagian dari Sumatera Utara sudah dicabut atau dibatalkan secara resmi.
“Kalau belum ada pencabutan SK Mendagri, maka klaim pengembalian itu belum sah secara hukum. Jangan permainkan persepsi publik. Ini wilayah Aceh, harus jelas dasar hukumnya,” tandasnya.
Terakhir, Yahya menegaskan bahwa ia tidak berbicara sebagai ahli hukum ataupun pakar administrasi pemerintahan. Namun, secara logika publik, surat yang tidak memiliki nomor dan cap resmi sangat layak dipertanyakan.
“Saya bukan ahli hukum atau administrasi, tapi dokumen negara tanpa cap dan nomor surat? Itu sangat aneh dan meragukan. Tidak masuk akal kalau ini dijadikan dasar hukum,” tutup Yahya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Pemerintah Aceh terkait isi dan status hukum surat kesepakatan tersebut, termasuk kejelasan pencabutan keputusan administratif yang terdahulu dari Kementerian Dalam Negeri.
Post a Comment