Diduga Disokong Oknum Aparat, PT Bapco Lakukan Pengusiran Terhadap Warga di Aceh Utara

Diduga Disokong Oknum Aparat, PT Bapco Lakukan Pengusiran Terhadap Warga di Aceh Utara

JMNpost.com | Aceh Utara – Kasus sengketa lahan yang melibatkan PT Bahruny Plantation Company (Bapco), perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Paya Bakong dan Pirak Timu, Aceh Utara, semakin memanas. Dugaan keterlibatan oknum aparat keamanan dalam memperkuat posisi perusahaan terhadap masyarakat setempat mencuat ke permukaan. Tidak hanya berpotensi menambah ketegangan sosial, tetapi juga membuka pertanyaan serius tentang pelaksanaan hukum dan kewenangan aparat negara dalam konteks urusan korporasi.

Informasi yang diperoleh dari sumber terpercaya di lapangan mengungkapkan bahwa PT Bapco menggunakan jasa pengamanan yang melibatkan aparat TNI dan Brimob. Menurut penuturan sejumlah warga dan pejabat desa setempat, personel dari Koramil dan satuan Brimob yang ditempatkan di wilayah tersebut bertindak lebih dari sekadar pengaman umum. Mereka disebutkan memiliki peran yang lebih mendalam dalam upaya menekan warga agar mengosongkan lahan yang mereka klaim sebagai bagian dari HGU perusahaan. Praktik ini diduga tidak hanya melanggar etika sosial, tetapi juga berpotensi menodai netralitas aparat negara yang seharusnya bersikap objektif dalam menyelesaikan sengketa.

Salah satu sumber yang enggan disebutkan identitasnya menyatakan bahwa hubungan antara PT Bapco dan aparat keamanan sangat erat, di mana salah seorang anggota TNI yang menjabat sebagai Wakil Komandan Rayon Militer (Batuud) ditempatkan di bagian Humas perusahaan. Tindakan ini menimbulkan kecemasan di kalangan masyarakat, yang merasa diperlakukan semena-mena dan terancam oleh keberadaan oknum aparat tersebut.

Lebih lanjut, pengakuan sejumlah warga menyebutkan adanya praktik yang tidak layak dalam penanganan masalah antara perusahaan dan masyarakat. Salah satunya adalah kasus penangkapan hewan ternak milik warga yang secara tidak sengaja masuk ke area kebun sawit perusahaan. Ketika warga mencoba untuk mengambil kembali ternak mereka, mereka diwajibkan untuk membayar tebusan sebesar Rp500 ribu per ekor, sebuah praktik yang mencerminkan ketidakadilan dalam penyelesaian masalah yang seharusnya dapat diselesaikan dengan cara yang lebih manusiawi dan sah secara hukum.

Sebagai bagian dari upaya penguatan legalitasnya, PT Bapco telah melayangkan surat somasi kepada petani di tiga desa dalam wilayah Kecamatan Paya Bakong. Dalam somasi tersebut, perusahaan mengklaim bahwa warga telah menduduki lahan seluas 59,5 hektare yang tercatat sebagai bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan, dan menuntut agar warga segera mengosongkan lahan tersebut. PT Bapco juga mengancam untuk membawa perkara ini ke ranah hukum jika permintaan tersebut tidak dipenuhi.

Namun demikian, klaim ini ditolak mentah-mentah oleh warga. Mereka bersikeras bahwa lahan tersebut adalah milik mereka secara turun-temurun, dengan pepohonan yang telah ditanam sejak lebih dari 30 tahun yang lalu. Penolakan warga semakin menguatkan anggapan bahwa sengketa ini bukan hanya soal klaim legalitas lahan, tetapi juga soal ketidakadilan sosial dan distribusi kekuasaan yang timpang antara korporasi besar dan masyarakat lokal.

Manajer PT Bapco, Adi Santosa, yang dikonfirmasi mengenai keberadaan aparat keamanan di lingkungan perusahaan, membenarkan bahwa pihaknya memang menggunakan jasa pengamanan dari TNI dan Brimob untuk menjaga kebun sawit dari gangguan keamanan. Santosa menyatakan bahwa alasan penggunaan aparat keamanan adalah untuk mengatasi masalah seperti pencurian buah dan gangguan lainnya yang berpotensi merugikan perusahaan.

Namun, pernyataan ini justru menambah kontroversi, karena penggunaan aparat militer dan polisi dalam konteks urusan bisnis perusahaan menimbulkan kekhawatiran tentang penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran terhadap prinsip netralitas aparat negara. Dalam konteks ini, pertanyaan mendasar muncul: Apakah aparat keamanan, yang seharusnya melindungi masyarakat, justru menjadi alat bagi kepentingan bisnis yang lebih besar? Dan sejauh mana pengaruh perusahaan besar dalam menentukan kebijakan dan tindakan aparat negara?

Dalam tinjauan hukum, jika terbukti bahwa aparat TNI dan Brimob terlibat dalam tindakan yang bersifat intimidatif terhadap warga sipil, hal ini bisa dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip independensi dan netralitas dalam menjalankan tugas mereka. Oleh karena itu, sangat penting bagi lembaga-lembaga penegak hukum untuk melakukan audit terhadap tindakan yang melibatkan oknum aparat dalam urusan korporasi, agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan pihak-pihak yang lebih lemah.

Kritik terhadap keberadaan aparat keamanan yang terlibat dalam urusan perusahaan juga datang dari berbagai kalangan, termasuk pengamat sosial dan aktivis yang menilai bahwa hal ini membuka celah bagi praktik mafia tanah dan ketimpangan dalam penegakan hukum. Penggunaan aparat negara dalam memperkuat kepentingan perusahaan dapat menciptakan ketidakadilan struktural yang semakin meminggirkan rakyat kecil.

Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah dan lembaga penegak hukum untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan korporasi dan hak-hak dasar masyarakat, serta memastikan bahwa aparat negara tidak disalahgunakan untuk kepentingan bisnis semata. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan aparat negara akan semakin terkikis, dan ketidakadilan akan terus terpelihara.

Reporter: Efendi Noerdin
Editor: Redaksi JMNpost.com

Post a Comment

Previous Post Next Post