Opini
Oleh: Fahmi
Tak perlu mencuri miliaran untuk merusak negara. Cukup pura-pura absen kerja setiap hari, meski tak ada pekerjaan yang dikerjakan. Tambahan penghasilan tetap cair, dan negara pun pelan-pelan bocor oleh perilaku koruptif yang dianggap “lumrah”. Itulah wajah buruk birokrasi kita hari ini.
Kasus terbaru di Aceh Timur membongkar kebobrokan itu secara telanjang. Sebanyak 724 Aparatur Sipil Negara (ASN) diketahui melakukan manipulasi absen wajah, dengan cara memalsukan foto untuk login ke sistem presensi online. Masif, vulgar, dan terang-terangan. Tapi sebelum buru-buru menghakimi, mari tarik napas dan bertanya: mungkinkah mereka hanya sedang bertahan hidup?
Karena sistem tak pernah tanya apakah si ASN hari itu sedang sakit, punya uang untuk isi bensin, atau bahkan cukup makan pagi. Sistem hanya tahu satu hal: jika tak absen, maka TPP dipotong. Gaji ASN bukanlah kemewahan di daerah seperti Aceh Timur. Di tengah harga naik, sinyal buruk, dan beban kerja yang tidak sepadan, sebagian ASN mungkin memilih akal-akalan presensi bukan karena niat buruk, tapi karena terpaksa. Mereka hadir secara administratif, walau absen secara batiniah.
Dalam birokrasi hari ini, teknologi presensi yang semula dimaksudkan untuk meningkatkan disiplin, justru berubah menjadi alat tekanan tanpa kompromi. ASN dipaksa hadir, bukan hadir untuk melayani, tapi hadir agar tunjangannya tak dipotong. Sistem tak kenal tanggal tua, tak peduli apakah rapat hari itu dibatalkan, atau pekerjaan memang sedang tidak ada.
Presensi digital menjadi ritual palsu. Wajah yang difoto bisa wajah lama, wajah editan, bahkan wajah titipan. Yang penting, sistem puas. Padahal, rakyat tak butuh wajah digital. Rakyat butuh pelayanan nyata.
Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) seharusnya jadi insentif untuk mendorong produktivitas. Tapi dalam praktiknya, TPP justru menjadi jebakan yang memaksa ASN bermain-main dengan kepatuhan semu. Hadir atau tidak hadir, kerja atau tidak kerja yang penting sistem mencatat "hadir".
Akhirnya muncul kebiasaan baru: hadir secara presensi, absen secara fungsi. Masuk kantor bukan untuk bekerja, tapi untuk mencatatkan diri di sistem. Lalu pulang diam-diam, atau menghilang tanpa jejak. Negara membayar kehadiran, bukan kinerja.
Ini bukan hanya soal manipulasi presensi. Ini soal ketidakadilan sistemik: negara membayar pegawai yang tidak melayani. Dan ketika pelayanan publik mandek, siapa yang disalahkan? Masyarakat yang tak sabar. Padahal akar masalahnya adalah birokrasi yang menganggap presensi sebagai indikator utama kinerja, padahal itu cuma permukaan.
Yang lebih menyedihkan: praktik ini bukan hal baru. Di berbagai daerah, dari Sabang sampai Merauke, manipulasi presensi sudah menjadi rahasia umum. Bedanya, di Aceh Timur sistemnya mulai canggih dan ketahuan. Tapi di tempat lain? Bisa jadi masih terus terjadi, dengan senyap dan aman.
Tidak adil juga menyamaratakan semua ASN sebagai pelaku manipulasi. Masih banyak pegawai negeri yang jujur, datang tepat waktu, bekerja sungguh-sungguh, dan tetap miskin secara struktural. Tapi ketika 724 ASN ketahuan bermain curang secara kolektif, itu bukan lagi masalah individu. Itu tanda kerusakan sistemik yang sudah dibiarkan terlalu lama.
Dan lebih parah lagi, kalau atasan langsung ikut tutup mata, bahkan mungkin menikmati sistem ini juga. Kecurangan kecil-kecilan ini lalu menjadi korupsi mikro yang dilembagakan diam-diam merampok uang rakyat melalui jalur yang sah: potongan kecil dari kinerja kosong.
Bupati Aceh Timur sudah bicara soal pemotongan TPP dan sanksi disiplin. Itu langkah awal yang bagus. Tapi kita tak bisa berharap banyak jika sistemnya sendiri masih sakit.
Reformasi ASN bukan hanya soal memperbaiki presensi digital. Harus ada integrasi antara kehadiran, output kerja, dan evaluasi kinerja yang objektif. Presensi tidak boleh jadi satu-satunya patokan. Harus ada indikator yang mengukur apa yang dihasilkan, bukan hanya berapa kali login sistem.
Selain itu, perlindungan sosial dan kondisi kerja ASN juga harus ditinjau ulang. Jangan sampai ASN hanya dituntut disiplin, tapi tak diberi ruang untuk hidup layak. Karena jika tekanan ekonomi tetap berat, kecurangan akan selalu punya pintu masuk dari foto palsu hingga rekayasa GPS.
Negara tidak akan bangkrut karena satu ASN malas. Tapi negara bisa runtuh kalau ribuan ASN pura-pura kerja, dan sistem
Post a Comment