Oleh: Mahdi alias Jaka, Pemerhati Kebijakan Publik Aceh Timur
Sudah genap 100 hari Iskandar Usman Alfarlaky menjabat sebagai Bupati Aceh Timur. Sebuah tonggak waktu yang lazimnya menjadi momen refleksi: ke mana arah perahu pemerintahan ini berlayar? Tapi alih-alih mendapat paparan kerja, yang tampak justru adalah parade konten. Ya, konten. Bukan progres.
Dalam seratus hari ini, publik Aceh Timur lebih sering disuguhi tayangan video yang tertata rapi, kegiatan yang dikemas dengan sudut estetik, dan sidak yang seolah lebih siap kamera ketimbang siap eksekusi. Pemerintahan terasa seperti kanal YouTube yang rajin unggah, tapi lupa monetisasi pembangunan. Banyak visual, minim substansi.
Salah satu tayangan yang sempat ramai adalah sidak Bupati ke Puskesmas Darul Aman. Sorotan kamera stabil, pencahayaan pas, ekspresi tegas, dan tentu—backsound dramatis. Tapi begitu video selesai diputar, rakyat bertanya: lalu apa? Apakah pelayanan berubah? Apakah tenaga medis terbantu? Atau sidak itu hanya dijadikan footage demi engagement?
Kalau yang dikejar adalah gaya sinematik, semua bisa tampak seperti pemimpin hebat. Tapi rakyat Aceh Timur tak butuh sinema, mereka butuh sistem. Mereka tak lapar efek suara, mereka lapar keadilan sosial.
Dan di tengah gaya visual ala pejabat konten, satu nama muncul sebagai rujukan: Dedi Mulyadi. Ya, Gubernur Jawa Barat saat ini. Sosok yang banyak ditiru dari segi gaya narasi, kehadiran langsung ke lapangan, bahkan cara bicara merakyat.
Tapi ada satu perbedaan penting: Dedi Mulyadi bukan hanya tampil, tapi juga eksekusi. Dalam 100 hari pertama, ia berani realokasi anggaran demi efisiensi, memangkas belanja yang tak perlu, memperbaiki jalur pelayanan dasar, dan membuka pintu kritik dari semua kalangan. Bukan hanya mengucap “rakyat butuh bantuan”, tapi menyisir pasar, desa, dan pos-pos pelayanan untuk mengeksekusi langsung kebijakannya.
Jadi, jangan ikut-ikutan gaya Dedi Mulyadi jika hanya berhenti di titik kamera. Rakyat bukan butuh aktor, mereka butuh administrator. Yang bukan hanya bisa bicara, tapi bisa bekerja.
Yang jadi soal bukan seberapa sering Bupati Aceh Timur muncul di layar, tapi seberapa jauh perubahan terjadi di lapangan. Pendidikan? Belum jelas arah prioritasnya. Kesehatan? Masih banyak Puskesmas kekurangan fasilitas dasar. Ekonomi rakyat? Tak terdengar gebrakan berarti. Tata kelola pemerintahan? Masih kabur, belum ada peta jalan yang dipaparkan secara terbuka.
Hingga kini, belum ada laporan resmi dari Pemkab Aceh Timur terkait capaian 100 hari. Tak ada forum publik, tak ada rilis kinerja, bahkan infografis sederhana pun tak muncul. Akun resmi pemerintah lebih sibuk membagikan dokumentasi kegiatan dibanding menjelaskan indikator pembangunan.
Jika memang sudah bekerja, mengapa takut memaparkan? Jika belum ada hasil, mengapa sibuk bersolek di kamera?
Rakyat tidak menuntut semua beres dalam 100 hari. Mereka hanya ingin tahu: sudah dimulai atau belum? Sudah disentuh atau masih disusun? Kalau benar-benar serius ingin mengabdi, 100 hari seharusnya dijadikan momen menjelaskan bukan menutupi.
Publik Aceh Timur bukan penonton pasif. Mereka punya akal sehat. Mereka tahu membedakan antara kerja sungguhan dan pencitraan. Dan kalau dalam 100 hari ini yang disuguhkan hanya konten tanpa isi, maka jangan heran jika kepercayaan perlahan menurun, bahkan berubah jadi sinis.
Saya tidak menyampaikan ini untuk menjatuhkan. Tapi sebagai bagian dari masyarakat Aceh Timur yang peduli, saya percaya: pemimpin yang baik bukan hanya siap dipuji, tapi juga siap dikritik.
Saya berharap Bupati Iskandar tidak hanya bangga dengan angka 100 hari, tapi juga siap membuka apa yang telah dilakukan dalam seratus hari itu—secara jujur, lengkap, dan tanpa drama.
Karena jika 100 hari ini hanya berisi dokumentasi, maka saya khawatir, 1.000 hari ke depan hanya akan melahirkan dokumenter—bukan pembangunan.
Post a Comment