Negara Ingat Penjajah, Lupa Pahlawan: Ketika Kuburan Kolonial Dirawat, Makam Pejuang Islam Terabaikan

Kuburan yang para Pahlawan yang terabaikan dan penampakan kuburan para penjajah

Oleh: Mahdi

Negara yang besar adalah negara yang menghormati jasa para pahlawannya. Kalimat itu sering kita dengar di pidato-pidato kenegaraan dan pelajaran PPKn. Namun, dalam praktiknya, penghormatan itu terasa diskriminatif.

Pemerintah Indonesia tampak sangat peduli terhadap makam para penjajah dengan perawatan yang konsisten, anggaran yang memadai, dan promosi wisata yang aktif, sementara makam para pahlawan, khususnya para pejuang Islam, justru dibiarkan usang, rusak, dan hilang dari ingatan kolektif bangsa.

Mari kita mulai dari contoh konkret. Di Banda Aceh, ada sebuah kompleks pemakaman bernama Kerkhof Peutjoet. Di sinilah sekitar 2.000 serdadu Belanda dimakamkan, termasuk Jenderal Kohler yang tewas dalam agresi ke Masjid Raya Baiturrahman tahun 1873.

Anehnya, walau Jenderal Kohler adalah simbol agresi kolonial, makamnya justru dirawat dengan penuh kehormatan. Pemerintah daerah dan bahkan pihak Belanda ikut menggelontorkan dana untuk pemugaran area makam ini. Papan informasi dibuat dalam tiga bahasa: Indonesia, Belanda, dan Inggris.

Taman dihias rapi. Bahkan di beberapa katalog wisata, Kerkhof disebut sebagai "situs warisan sejarah yang penting untuk wisata edukasi".

Bandingkan dengan makam Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman seorang ulama karismatik, pemimpin perang sabil di Aceh yang selama bertahun-tahun mengusik kekuatan kolonial Belanda.

Makamnya memang dijadikan pahlawan nasional dan berada di Pidie, namun kondisinya beberapa tahun terakhir jauh dari kata terawat. Tak ada dana khusus untuk revitalisasi makam. Plang penanda pun terlihat lusuh. Di sinilah ironi bersemayam: pejuang sejati yang mengorbankan nyawa demi kemerdekaan Indonesia, tak mendapat perhatian yang layak dari negara yang kini menikmati hasil kemerdekaannya.

Fenomena serupa juga terjadi di Pulau Jawa. Di Banten, kita mengenal nama besar Sultan Ageng Tirtayasa, ulama sekaligus raja yang melawan VOC habis-habisan. Makamnya berada di Serang, dan meski ditetapkan sebagai situs sejarah, kondisinya kerap tak terurus. Sementara di Semarang, Ereveld Candi, makam tentara Belanda berdiri megah.

Komplek pemakaman ini tidak hanya dirawat, tapi juga dijadikan destinasi tur edukatif oleh Kedutaan Besar Belanda di Indonesia. Setiap tahun, upacara penghormatan digelar dengan khidmat di sana.

Pertanyaannya: kapan terakhir kali kita melihat pemerintah menggelar upacara nasional di makam pahlawan Islam lokal seperti KH Zainal Musthafa di Tasikmalaya atau Imam Bonjol di Minahasa?

Masalah ini bukan hanya tentang pemakaman. Ini tentang memori kolektif, tentang bagaimana negara memilih mengingat sejarahnya. Pemerintah secara sistemik telah menggiring narasi sejarah nasional ke arah sekuler-nasionalistik, dan mengesampingkan dimensi keislaman dalam perjuangan kemerdekaan. Dalam buku-buku sejarah pelajaran sekolah, tokoh seperti Teuku Umar, Pangeran Diponegoro, atau Cut Nyak Dien disebut, tapi narasi jihad fi sabilillah yang mereka bawa nyaris tidak dibahas. Padahal, catatan sejarah dari sumber Belanda sendiri menyebut bahwa motivasi utama perlawanan mereka adalah agama.

Dalam laporan kolonial De Atjehers (1893) karya Snouck Hurgronje—seorang orientalis Belanda yang menyamar menjadi Muslim—terungkap bahwa perlawanan Aceh terhadap Belanda didasarkan atas seruan jihad dari para ulama. Strategi Snouck sendiri adalah memisahkan Islam sebagai agama pribadi dari Islam politik, agar perjuangan bersenjata umat Islam bisa dilemahkan.

Kini, warisan Snouck tampaknya hidup kembali, ketika negara memperlakukan sejarah keislaman sebagai bagian pinggiran dari narasi kebangsaan.

Bukan berarti kita harus membenci semua jejak kolonial. Merawat makam penjajah sebagai bagian dari sejarah, dalam konteks tertentu, bisa dimaklumi. Tapi ketimpangan perhatian ini menunjukkan bahwa ada distorsi ideologis dalam cara pemerintah membaca masa lalu.

Mengapa Belanda dan Jepang yang pernah menjajah kita justru mendapat ruang penghormatan yang begitu luas, sementara pejuang Islam yang tulus membela tanah air justru dimarjinalkan?

Pemerintah kerap beralasan "tidak ada anggaran" untuk merawat makam pahlawan lokal. Namun, data APBN dan APBD menunjukkan bahwa anggaran belanja warisan budaya selalu tersedia. Bahkan pada 2023, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan mengalokasikan lebih dari Rp800 miliar untuk pemajuan kebudayaan.

Sayangnya, mayoritas anggaran itu terserap untuk kegiatan pameran, festival, dan revitalisasi cagar budaya tertentu yang lebih "marketable", bukan makam para pejuang.

Bahkan ketika masyarakat berinisiatif untuk merawat makam para ulama, mereka sering kali menghadapi kesulitan administrasi.

Di beberapa daerah, keluarga pejuang harus menggalang dana sendiri agar makam tidak digusur atau dijadikan lahan lain. Negara seolah hanya hadir ketika nama pahlawan itu bisa dijadikan nama jalan atau taman kota bukan ketika jasadnya memerlukan perawatan yang layak.

Pertanyaannya kini jelas: untuk siapa sebenarnya sejarah ini dirawat? Jika kita terus memoles wajah kolonialisme agar tampak beradab, sambil menutupi wajah para syuhada yang sebenarnya membela negeri ini, maka kita bukan hanya menghianati masa lalu, tapi juga menyabotase kesadaran generasi mendatang.

Sudah saatnya pemerintah mengoreksi arah kebijakan sejarah nasional. Penghormatan terhadap pahlawan tidak boleh diskriminatif. Ulama dan pejuang Islam adalah bagian sah dari sejarah perjuangan bangsa, bukan sekadar pelengkap penderita.

Makam mereka harus dirawat, perjuangan mereka harus diceritakan, dan nama mereka harus dibela dari pelupaan yang sistemik.

Bangsa yang besar bukan hanya menghormati pahlawannya, tapi juga tahu siapa sebenarnya yang pantas disebut pahlawan. Jika negara terus memelihara ingatan yang keliru, maka kita akan tumbuh menjadi bangsa yang salah mengenang, salah melangkah, dan akhirnya salah arah.

 

Post a Comment

Previous Post Next Post