Opini: Mahdi
Aceh Timur adalah kabupaten besar, baik secara wilayah, penduduk, maupun sejarah. Tapi yang besar belum tentu adil. Dan hari ini, rasa keadilan itu sedang diuji—dengan pembangunan yang terkesan hanya mengalir ke satu arah: Peureulak dan sekitarnya.
Tak bisa kita tutupi, Bupati Aceh Timur saat ini adalah putra Peureulak. Tidak ada yang salah dengan itu. Yang menjadi soal adalah ketika pembangunan seolah-olah hanya mengalir ke kampung sendiri, dan wilayah-wilayah lain seperti Simpang Ulim, Lhoknibong, bahkan Idi Cut, Bagok, dan Kuta Binje hanya dijadikan penonton abadi dari panggung pembangunan.
Pembangunan Jangan Jadi Hak Milik Daerah Asal
Kita ingin pembangunan Aceh Timur berjalan maju. Tapi jangan sampai rasa memiliki kabupaten ini hanya dimonopoli oleh satu kawasan saja. Hari ini masyarakat Peureulak mungkin tersenyum karena jalan diperbaiki, fasilitas diperindah, dan anggaran mulai turun. Tapi di saat yang sama, rakyat di Simpang Ulim dan Lhoknibong terus bertanya: kapan giliran kami?
Lebih miris lagi, kawasan seperti Idi Cut, Bagok, dan Kuta Binje selama ini seperti sudah dicap “tidak penting” dalam peta pembangunan. Padahal potensi mereka besar, baik dari sisi SDM, pertanian, maupun jalur konektivitas. Tapi mereka hanya dibutuhkan saat pemilu tiba, lalu dilupakan selama lima tahun berikutnya.
Idi Cut, Bagok, dan Kuta Binje tak lebih dari sekadar bahan kampanye. Janji pembangunan hanya datang saat baliho mulai dipasang dan tim sukses mulai bergerak. Setelah suara didapat, semuanya kembali jadi penonton—penonton dari pesta pembangunan yang hanya digelar di tempat lain.
Kami ingin menyampaikan pesan yang sangat jelas menjelang Pemilu dan Pilkada berikutnya: jangan lagi ada isu mengarahkan perangkat Gampong untuk memilih calon dari satu wilayah tertentu karena kedekatan politik atau kepentingan kelompok. Demokrasi itu soal pilihan rakyat, bukan hasil rekayasa struktur pemerintahan desa yang ditekan secara halus maupun kasar.
Sudah terlalu lama kami melihat bagaimana Pilkada di Aceh Timur dimainkan dengan pola-pola yang itu-itu saja: suara dibeli, aparatur desa diarahkan, dan rakyat dipaksa memilih bukan berdasarkan kualitas, tapi atas dasar loyalitas wilayah.
Kalau hari ini tidak sanggup membangun Simpang Ulim, Lhoknibong, Idi Cut, Bagok, dan Kuta Binje, maka jangan wariskan lagi kuasa ini ke orang yang sama dari kawasan yang sama. Biarkan rakyat memilih dengan akal sehat. Biarkan demokrasi tumbuh tanpa tekanan dan intrik anggaran.
Kita tidak sedang meminta keistimewaan untuk wilayah utara, timur, atau barat. Kita hanya menuntut keadilan yang sederhana: pembangunan yang adil, kepemimpinan yang merata, dan pelayanan yang setara. Bila Bupati hari ini tidak mampu menjangkau wilayah-wilayah pinggiran, maka harapan besar kita taruh di periode selanjutnya.
Simpang Ulim layak memimpin. Lhoknibong berhak membangun. Idi Cut, Bagok, dan Kuta Binje harus mulai dilibatkan, bukan cuma dipakai. Dan Aceh Timur harus kembali menjadi rumah bersama, bukan rumah kontrakan yang hanya dikuasai satu keluarga besar.
Kita ingin pemimpin yang tidak hanya bicara tentang visi di spanduk, tapi benar-benar menginjakkan kaki di jalan berlumpur yang ada di Gampong terpencil. Kita ingin calon bupati yang tidak hanya datang menjelang pencoblosan, tapi tetap hadir ketika banjir melanda atau listrik padam berhari-hari.
Pemilu ke depan adalah ujian, apakah Aceh Timur masih ingin seperti ini terbelah, tidak adil, dan penuh drama politik kampungan, atau kita semua berani melangkah menuju sistem yang lebih sehat dan setara.
Jangan biarkan aparatur Gampong jadi alat politik. Jangan jadikan jabatan sebagai alat mempertahankan kekuasaan keluarga atau kelompok. Dan jangan lagi rakyat dibodohi dengan bantuan musiman menjelang pencoblosan.
Demokrasi harus dewasa. Pemimpin harus merata. Dan pembangunan harus adil.
Post a Comment