Hijau di Permukaan, Berdarah di Akar: PTPN I di Aceh Timur Diduga Kuasai Lahan Rakyat




Oleh: Masri, SP (Penggiat Sosial & Jurnalis)
Berdomisili Aceh Timur

JMNpost.com | Aceh Timur, – Di balik rindang dan suburnya kebun kelapa sawit milik PTPN I Karang Inoeng, ada luka yang tak kunjung sembuh. Luka itu bukan karena tumpahan minyak atau konflik antar pekerja, melainkan soal tanah, elemen paling mendasar dalam hidup petani yang kini dirampas secara diam-diam. Rakyat bersuara, negara mendengar, tapi tetap tak berdaya.

Dugaan penyerobotan lahan oleh perusahaan pelat merah ini telah berlangsung lebih dari satu dekade. Namun hingga kini, tak satu pun pejabat berani membongkar kotak pandora ini.

“Tanah Kami Dikuasai Tanpa Izin”

Kisah ini bermula dari jeritan warga Dusun Sumedang Jaya, Gampong Seumanah Jaya, Kecamatan Ranto Peureulak. Mereka menyadari bahwa kebun sawit PTPN I telah menjalar melewati batas resmi Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki perusahaan BUMN tersebut. Bukannya memperluas peluang kerja, ekspansi diam-diam ini justru menyingkirkan warga dari tanah yang mereka warisi turun-temurun.

“Tiba-tiba kelapa sawit tumbuh di atas tanah kami. Tidak ada surat pemberitahuan, tidak ada negosiasi, apalagi ganti rugi,” ujar Mawardi, tokoh masyarakat setempat.

Tanah yang disengketakan tak hanya satu bidang. Hamparan sawit itu membentang dari Karang Inoeng hingga ke kawasan jalan Ranto Peureulak–Peunaron. Bahkan sebagian warga sudah kehilangan akses total ke lahan mereka.

“Kami hanya bisa lihat dari kejauhan. Dulu kami tanam pisang, pinang, padi ladang. Sekarang semua tertutup kelapa sawit PTPN,” kata Muhaddis, salah satu korban yang kini hanya bisa menggantungkan hidup dari pekerjaan serabutan.

Mediasi yang Tak Mengubah Apa-Apa

Pada 8 Mei 2025 lalu, Pemkab Aceh Timur menggelar mediasi di aula Kantor Bupati. Hadir dalam forum itu Wakil Bupati, perwakilan Dinas Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), warga korban, serta pihak PTPN I. Dalam forum yang tampak megah tapi sarat ketegangan itu, terungkap fakta mengejutkan.

“Pihak perusahaan bahkan menyatakan kesediaan untuk membayar lahan milik keluarga Muhaddis,” kata Mukhtarudin, Kepala Dinas Pertanahan Aceh Timur.

Pernyataan itu menjadi senjata dua sisi. Di satu sisi, tampak sebagai itikad baik. Tapi di sisi lain, membuktikan bahwa lahan itu memang bukan milik PTPN I.

“Kalau mereka mau bayar, artinya mereka sadar itu bukan tanah mereka. Tapi kenapa tetap dikuasai?” tanya Mukhtardin retoris.

Ia pun mengakui sebagian lahan yang dikuasai perusahaan tidak tercatat dalam peta HGU yang sah secara hukum. Namun usulan pembentukan tim pencari fakta yang diajukannya hingga kini belum ditindaklanjuti Bupati. SK belum keluar. Penyelesaian pun mengambang.

BPN Cuci Tangan

Di sisi lain, Kepala BPN Aceh Timur memilih berdiri di tengah. Saat dikonfirmasi, ia menyarankan penyelesaian melalui musyawarah, bukan lewat tindakan hukum.

“Saya pribadi tidak bisa ambil sikap,” ujarnya singkat.

Pernyataan itu seolah menambah barisan panjang institusi negara yang tak berani menyentuh perusahaan pelat merah. Padahal, jika negara tunduk pada korporasi, maka rakyat kehilangan sandaran terakhirnya.

13 Tahun Pembiaran: Kolusi atau Kelumpuhan Hukum?

Data di lapangan menunjukkan, penguasaan lahan secara ilegal oleh PTPN I telah berlangsung sejak era pemerintahan sebelumnya. Artinya, pembiaran ini sudah berjalan lebih dari 13 tahun. Selama itu, tidak ada evaluasi HGU, tidak ada audit, tidak ada penyidikan. Negara diam, rakyat menjerit.

“Kami sudah buat laporan sejak lama. Tapi pejabat silih berganti, tak satu pun serius membela kami,” ujar Mawardi.

Beberapa akademisi menyebut kondisi ini sebagai bentuk kelumpuhan sistemik, atau bahkan kolusi diam-diam antara elite daerah dan perusahaan negara.

“BUMN seperti PTPN punya kekuatan politik dan ekonomi besar. Sayangnya, digunakan untuk menginjak rakyat, bukan menyejahterakan mereka,” ujar seorang dosen Universitas Samudra yang meminta identitasnya disamarkan.

Lebih dari Sekadar Sengketa

Kasus ini bukan semata soal sengketa tanah. Ia menyentuh soal keadilan sosial, kedaulatan petani, dan kebocoran ekonomi daerah. Tanah-tanah di luar HGU yang dikuasai secara ilegal oleh PTPN I tak hanya merampas hak warga, tetapi juga berpotensi merugikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) akibat tidak tercatatnya aktivitas usaha di atasnya.

Sementara itu, kehidupan warga semakin terdesak. Tanpa tanah, mereka kehilangan sumber pangan, ruang hidup, bahkan identitas sebagai petani.

Apa Solusinya?

Solusi pertama adalah audit menyeluruh terhadap seluruh HGU PTPN I. Bupati Aceh Timur harus segera mengeluarkan SK pembentukan tim pencari fakta. Kedua, pengukuran ulang batas HGU secara transparan, dengan partisipasi warga. Ketiga, jika terbukti ada pelanggaran, negara wajib memulihkan hak-hak rakyat, termasuk restitusi lahan dan ganti rugi.

Namun semua itu hanya bisa terjadi jika ada keberanian politik, bukan hanya sekedar omong kosong untuk pencitraan.

“Jangan sampai kebun kelapa sawit yang hijau di permukaan ini menyembunyikan darah dan air mata di akar-akarnya,” tegas Mukhtardin.

Kasus penguasaan lahan oleh PTPN menjadi potret nyata permainan mafia tanah yang bekerja sama untuk merampok lahan rakyat. Bahkan dugaan serupa juga muncul di lokasi lain seperti PTPN IV.

Janji politik dan aksi nyata Bupati Aceh Timur kini ditunggu oleh masyarakat yang tertindas bertahun-tahun oleh perusahaan peninggalan kolonial Belanda tersebut. Bukan hanya menggarap kekayaan Aceh Timur, tradisi penindasan juga tampaknya masih tetap dijalankan.

Redaksi JMNpost.com telah berupaya menghubungi pihak PTPN I untuk meminta klarifikasi terkait dugaan penguasaan lahan, namun hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan yang diberikan.


(Red) 

Post a Comment

Previous Post Next Post